Dalam gramatikal bahasa Arab, kalimat dibagi menjadi jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah. Jumlah ismiyyah bisa disamakan dengan kalimat nominal dan jumlah fi’liyyah dengan kalimat verbal dalam bahasa Indonesia namun tidak sepenuhnya sama konsep dalam bahasa Arab dan Indonesia.
Jumlah ismiyyah adalah kalimat yang diawali dengan isim dan jumlah fi’liyyah diawali dengan fi’il. Dalam bahasa Arab, susunan jumlah fi’liyyah adalah fi’il/predikat, fa’il/subjek dan maf’ul/objek. Yang akan dibahas pada kesempatan ini adalah fa’il mulai dari pengertian, macam dan ketentuannya.
Fa’il berbeda dengan isim fa’il. Fa’il berada dalam bahasan ilmu nahwu dan isim fa’il berada dalam bahasan ilmu sharaf. Secara sederhana bisa dikatakan kalau fa’il itu kedudukan suatu kata dalam kalimat dan isim fa’il adalah bentuk suatu kata.
A. Pengertian Fa’il
Fa’il bisa diartikan sebagai:
مَنْ أَوْجَدَ الْفِعْلَ
Artinya: Orang mendatangkan atau melakukan suatu pekerjaan. Dalam gramatikal bahasa Arab, fa’il didefinisikan:
اِسْمٌ مَرْفُوْعٌ يَقَعُ بَعْدَ فِعْلِ مَبْنِيِ لِلْمَعْلُوْمِ وَيَدُلُّ عَلَى مَنْ فَعَلَ الْفِعْلَ أَوِ اتَّصَفَ بِهِ
Artinya: isim marfu’ yang terletak setelah fi’il mabni ma’lum dan menunjukkan atas orang yang melakukan perbuatan atau yang tersifati oleh fi’il tersebut.
Contoh:
قَامَ أَحْمَدُ
Artinya: Ahmad berdiri
اِحْمَرَّ وَجْهُ أَحْمَد
Artinya: Wajah Ahmad memerah
Dalam contoh pertama kata (أَحْمَدُ) menjadi fa’il karena Ahmad sebagai pelaku dari kata (قَامَ). Pada contoh kedua “wajah Ahmad” menjadi fa’il karena secara makna menjadi kata yang mendapatkan sifat dari fi’il “memerah”.
B. Macam-macam Fa’il
Fa’il bisa berbentuk:
1. Isim Mu’rab
Isim mu’rab adalah isim yang berubah akhir harakatnya. Contoh fa’il dari isim mur’ab:
جَاءَ الْمُدَرِّسُ
Artinya: “Seorang guru” datang.
2. Isim Mabni
Isim mabni adalah kata yang harakat tidak bisa berubah. Yang termasuk isim mabni diantaranya isim dhamir, isim isyarah, dan isim maushul). Contoh:
قَرَأْتُ الْقُرْأنَ
Artinya: Aku membaca Al-Quran. Fa’ilnya adalah (تُ) yang merupakan kependekan dari (أَنَا) yang artinya saya. Berikut lebih lengkapnya:
Dhamir
|
Amar
|
Mudhari’
|
Madhi
|
هُوَ
|
لِيَضْرِب
|
يَضْرِبُ
|
ضَرَبَ
|
هُمَا
|
لِيَضْرِبَا
|
يَضْرِبَانِ
|
ضَرَبَا
|
هُمْ
|
لِيَضْرِبُواْ
|
يَضْرِبُوْنَ
|
ضَرَبُوْا
|
هِيَ
|
لِتَضْرِبْ
|
تَضْرِبُ
|
ضَرَبَتْ
|
هُمَا
|
لِتَضْرِبَا
|
تَضْرِبَانِ
|
ضَرَبَتَا
|
هُنَّ
|
لِيَضْرِبْنَ
|
يَضْرِبْنَ
|
ضَرَبْنَ
|
أَنْتَ
|
اِضْرِبْ
|
تَضْرِبُ
|
ضَرَبْتَ
|
أَنْتُمَا
|
اِضْرِبَا
|
تَضْرِبَانِ
|
ضَرَبْتُمَا
|
أَنْتُمْ
|
اِضْرِبُوْا
|
تَضْرِبُوْنَ
|
ضَرَبْتُمْ
|
أَنْتِ
|
اِضْرِبِيْ
|
تَضْرِبِيْنَ
|
ضَرَبْتِ
|
أَنْتُمَا
|
اِضْرِبَا
|
تَضْرِبَانِ
|
ضَرَبْتُمَا
|
أَنْتُنَّ
|
اِضْرِبْنَ
|
تَضْرِبْنَ
|
ضَرَبْتُنَّ
|
أَنَا
|
-
|
أَضْرِبُ
|
ضَرَبْتُ
|
نَحْنُ
|
-
|
نَضْرِبُ
|
ضَرَبْنَا
|
نَجَحَ هَذَا الطَّالِبُ
Artinya: “Siswa ini” berhasil. Kata (هَذَا) sebagai fa’il dalam contoh di atas.
قَامَ الَّذِيْ كَتَبَ
Artinya: “Orang yang menulis” telah datang. Kata (هَذَا) berkedudukan sebagai fa’il.
3. Mashdar Muawwal
Mashdar muawwal adalah susunan dari huruf mashdar seperti (لَوْ), (مَا), (كَيْ), (أنَّ), dan (أنْ) dan jumlah ismiyyah atau fi’liyyah yang bisa semakna dengan mashdar sharih. Contoh:
يَسُرُنِيْ أَنَّكَ نَجَحْتَ
يَنْبَغِي أَنْ تَفُوْزَ
Artinya:
“Kesuksesanmu membuatku bahagia”
“Keberhasilan adalah keharusan”
Contoh tersebut semakna dengan:
يَسُرُنِيْ نَجَاحُكَ
يَنْبَغِي فَوْزُكَ
C. Kaidah/Ketentuan Fa’il
1. Fa’il selalu marfu’ dan terletak setelah fi’il ma’lum, baik secara langsung atau tidak. Contoh:
رَجَعَ أَحْمَدُ مِنَ الْمَسْجِدِ - رَجَعَ مِنَ الْمَسْجِدِ أَحْمَدُ
2. Apabila Fa’il berbentuk mufrad, mutsana, atau jama’ maka fi’ilnya tetap mufrad. Contoh:
جَاءَ الْمُسْلِمُ - جَاءَ الْمُسْلِمَانِ - جَاءَ الْمُسْلِمُوْنَ
3. Fi’il dan fa’il harus sama dalam mudzakkar atau muannatsnya. Contoh:
جَاءَ أَحْمَدُ – جَائَتْ فَاطِمَةُ
4. Boleh tidak sama muannats dan muadzakarnya antara fi’il dan fa’il apabila:
a. Fa’ilnya muanats yang terpisah dari fi’ilnya. Contoh:
سَافَرَتْ أَمْسِ فَاطِمَةُ - سَافَرَ أَمْسِ فَاطِمَةُ
b. Fa’ilnya berupa isim muanats majazi. Contoh:
طَلَعَتِ الشَّمْسُ - طَلَعَ الشَّمْسُ
c. Fa’ilnya berupa jama’ taksir. Contoh:
قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ - قَالَ الْمَلَائِكَةُ
5. Wajib mengtanitskan fi’il apabila:
a. Fa’ilnya berupa isim zhahir muanats haqiqi. Contoh:
تَجْلِسُ هِنْدٌ - جَائَتْ فَاطِمَةُ
b. Fa’ilnya berupa isim dhamir yang rujukannya ke muanats haqiqi maupun majazi. Contoh:
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ – زَيْنَبُ حَضَرَتْ
Pada kedua contoh di atas yang menjadi fa’ilnya adalah dhomir ghaib muanats yaitu (هِيَ).
6. Boleh fi’il dibuang dari kalimat yang mafhum. Contoh:
مَنْ تَكَلَّمَ؟ أَحْمَدُ
Asalnya:
تَكَلَّمَ أَحْمَدُ
7. Fa’il bisa terletak setelah mashdar, isim fa’il, atau isim shifat musyabahah yang beramal seperti fi’il. Contoh:
جَاءَ أَحْمَدُ الْفَاضِلُ أَبُوْهُ
Kata (أَبُوْهُ) merupakan fa’il dari (الْفَاضِلُ) yang merupakan isim fa’il yang beramal seperti fi’il.
Bagus materinya. Trims
ReplyDeleteterimakasih artieklnya bagus. izin copy untuk makalah
ReplyDeleteTerimakasih
ReplyDeletesyukron akhi barokallohufiiqum.
ReplyDeleteSmoga jadi amal jariyah,
ReplyDeleteجزاكم الله خيرا
Syukron.. kunjungi kuga yah blog saya.
ReplyDeletesangat membantu
ReplyDeleteSukron ya akhi
ReplyDelete