A.
Motivasi Pemberian Tanda Baca Pada Mushaf Utsmani
Mushaf utsmani tidak memakai tanda baca, titik, dan harakat, karena
semata-mata didasarkan atas karakter pembacaan orang-orang arab yang masih
murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian
titik. Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya
percampuran dengan bahasa non arab, maka para penguasa menganggap pentingnya
ada formasi penulisan mushaf dengan harakat, titik dan lain-lain yang dapat
membantu pembacaan yang benar.
|
Tanda Baca |
As-Suyuti menyebutkan dalam Al-Itqan bahwa Abu Al-Aswad ad-Du’ali
adalah orang pertama yang melakukan usaha itu atas perintah Abdul Malik bin
Marwan,bukan atas perintah Ziyad. Ketika itu orang telah membaca mushaf Usman
selama lebih dari empat puluh tahun hingga masa kekhalifahan Abdul Malik.
Tetapi masih banyak orang yang membuat kesalahan dan kesalahan itu merajalela
di Irak. Akhirnya mulai difikirkan penciptaan tanda-tanda tertentu yang dapat
membantu bacaan dengan baik dan benar.
Dalam hal itu ada beberapa riwayat lain yang menisbatkan pekerjaan
ini kepada orang lain , diantaranya kepada Hasan Al-Bashri, Yahya bin Ya’mar,
dan Nashr bin ashim al Laitsi. Tetapi Abu Al-Aswadlah yang terkenal dalam hal
ini. Nampaknya orang-orang lain yang disebutkan itu mempunyai upaya-upaya lain
yang dicurahkan dalam perbaikan dan pemudahan rasm tersebut.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama
adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (Nuqath
Al-I’jam) dan harakat (Nuqath Al-I’rab) yang lazim kita temukan hari ini dalam
berbagai edisi mushaf Al-Qur’an. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah
‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir
ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika
naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah
tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap
mushaf-mushaf tersebut, terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Duplikasi
itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap
kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40
tahun lamanya.
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan
wilayah-wilayah baru. Konsekuensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya
orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping itu tentu saja
meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim
ataupun non muslim-. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis
huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah
fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum musliminnon-Arab,
namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
B. Pemberian Titik Pada Masa Abul Aswad Ad-Du’ali
Mayoritas ulama berpendapat bahwa Imam Abu Al-Aswad Ad-Duali adalah
orang yang pertama kali memberi titik pada Al-Qur’an. Nama aslinya adalah
Zhalim bin Amr namun ia lebih dikenal dengan julukannya Abu Al-Aswad ad-Duali.
Abu Al-Aswad ad-Du’ali dikenal karena dialah orang yang pertama
kali meletakkan kaidah tatabahasa Arab atas perintah ‘Ali bin Abi Thalib ra. Banyak
orang berpendapat bahwa penemuan akan cara penulisan al-Qur’an dengan
huruf-huruf bertitik merupakan kelanjutan dari kegiatan Abu Aswad ad-Du’ali. Konon
ia pernah mendengar orang mebaca firman Allah:
أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولَهُ
Artinya: Bahwa Allah dan rasul-Nya memutuskan hubungan
dengan kaum musyrikin. (QS. At-Taubah :3).
Orang lain membacanya : annallaha barii’un minal
musyrikiina wa Rasulihii yang artinya
bahwa Allah memutuskan hubungan dari kaum musyrikin dan dari Rasul-Nya.
Hal ini membuat terkejut Abu Al-Aswad, komentarnya “Maha
tinggi Allah untuk meninggalkan Rasul-Nya” kemudian ia pergi menghadap ziyad,
gubernur basrah dan berkata. “Kini aku akan memenuhi apa yang pernah Anda minta
kepadaku”. Ziyad pernah memintanya untuk membuatkan tanda-tanda baca supaya
orang lebih dapat memahami Al-Qur’an. Tetapi Abu Al-Aswad tidak segera memenuhi
permintaan itu. Baru setelah dikejutkan oleh peristiwa tersebut, ia
memenuhinya. Disini ia mulai bekerja keras, dan hasilnya sampai pada pembuatan
tanda fathah berupa satu titik di atas huruf, tanda kasrah berupa satu titik di
bawah huruf, dan tanda dhammah berupa satu titik di sela-sela huruf dan tanda
sukun berupa dua titik.
C. Pemberian Tanda Baca Pada Masa Hajjaj Al-Tsaqafi
Pada periode selanjutnya, salah seorang gubernur di Baghdad
yang bernama Hajjaj al-Tsaqofi dibawah
pemerintahan Khalifah Bani Umayah lebih tepatnya pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan diperintahkan untuk memberikan
solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih
Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah
yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan
untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk
membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode
al-ihmal dan al-i’jam. Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik dan
al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai
berikut:
a. untuk membedakan antara (د) dengan (ذ), (ر) dengan (ز), (ص) dengan (ض), (ط) dengan (ظ) serta (ع) dengan (غ), maka huruf-huruf
pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan
huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b. untuk pasangan (س) dan (ش) huruf pertama tanpa
titik, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena
huruf ini memiliki tiga ‘gigi’ dan pemberian satu titik saja diatasnya akan
menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan
pemberian titik berbeda pada huruf (ب), (ت), (ث), (ن) dan (ي).
س ش ب ت ث ن ي ج ح خ ف ق ا
c. untuk rangkaian huruf (ج), (ح) dan (خ),huruf pertama dan
ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d. sedangkan pasangan (ف) dan (ق), seharusnya jika
mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua
diberikan satu titik di atasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur
Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas
untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam
(Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas
untuk qaf.
D. Pemberian Harakat Pada Masa Al-Khalil Bin Ahmad
Perbaikan rasm mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya
syakal berupa titik, fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dhamah berupa
satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik di bawah awal huruf.
Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf dan itulah
yang dilakukan oleh Imam Al-Khalil bin Ahmad. Perubahan itu ialah fathah dengan
tanda garis bujur diatas huruf, kashrah berupa tanda garis bujur dibawah huruf,
dhammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa.
Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan warna merah.
Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa
huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba’ di beri tanda iqlab berwarna merah
dan sebelum huruf tekak (halaq) di beri tanda sukun. Nun dan tanwin tidak diberi
tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa. Setiap huruf yang harus dibaca sukun
atau mati diberi tanda sukun dan huruf yang di idghamkan tidak diberi tetapi
huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah.
E. Penyempurnaan Tanda Baca: Tasydid, Saktah, Sajdah, Nomor Ayat,
Imalah, Tashil, Juz, Rubu’ Tsumun.
1. Tanda Baca Tasydid
Orang yang pertama kali membuat tanda tasydid dalam Al-Quran ialah
Al-Kholil bin Ahmad, ia memberikan tanda untuk huruf yang di syaddah sebuah
tanda seperti busur. Tanda baca tasydid dalam bahasa Arab disebut juga dengan Syiddah atau Syaddah,
yaitu tanda baca yang menyatakan dua huruf yang sama atau rangkap. Bentuk lambangnya
tanda tasydid seperti angka 3 di balik ke atas.
2. Tanda Baca Saktah .
Tanda saktah adalah huruf sin kecil di atas.
3. Sajdah
Tanda ‘Sajdah’ terdapat pada ayat-ayat sajadah. Dalam
AL-Qur’an ayat-ayat sajdah ditandai dengan simbol seperti bentuk sajadah.
4. Imalah
Imalah ditandai dengan titik besar di bawah kata.
5. Tashil
Tashil ditandai dengan titik besar di bawah kata.
6. Nomor Ayat
Ayat merupakan sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam
sebuah surah dalam Al-Qur’an sedangkan surah merupakan himpunan yang berisi
sejumlah ayat Al-Qur’an yang mempunyai permualaan dan kesudahan. Tertib atau
urut ayat-ayat al-qur’an ini adalah tauqify, ketentuan dari rasululla atas
perintah allah swt. Adapun tanda ayat berbentuk lingkaran bulat sebagai pemisah
ayat dan dengan mencantumkan nomor ayat.
7. Juz , Tsumun, Rubu’
Hal-hal baru yang mulanya tidak disukai para ulama ,
kemudian dianggap baik adalah bid’ah penulisan tanda-tanda pada tiap
kepala surah, peletakan tanda yang memisahkan ayat, pembagian Al-Qur’an menjadi
juz-juz, dari juz-juz dibagi lagi menjadi ahzab (kelompok ayat) dan dari
ahzab dibagi lagi menjadi arba’ (perempatan). Secara Keseluruhan tiap-tiap juz
terbagi menjadi 8 bagian yang disebut “Tsumun” yang artinya 1/8 dalam 1
juz.
8. Waqaf
Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakan nama-nama
surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang menentukan kepala ayat dan
tanda-tanda waqaf. Tanda waqaf lazim adalah mim(
م) ,waqaf mamnu (لا) , waqaf ja’iz (ج) yang boleh waqaf atau
tidak, waqaf ja’iz tetapi
washalnya lebih utama (صلي), yang ja’iz tetapi
waqafnya lebih utama (قلي ), waqaf mu’anaqoh ynag
bila telah waqaf pada satu tempat tidak dibenarkan waqaf ditempat lain diberi
tanda(:. .:) selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan-penyempurnaan
lainnya.
F. Hukum Memberi Tanda Baca Pada Mushaf
Para ulama mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena
khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud,
“bersihkanlah Al-Qur’an dan jangan dicampur adukan dengan apapun”. Sebagian
dari mereka membedakan antara pemberian titik yang diperbolehkan dengan
pembuatan perpuluhan (al-‘asyar) dan pembukaan-pembukaan ayat yang tidak
diperbolehkan. Al-Hulaimi mengatakan “makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan (al-akhmas),
nama-nama surat dan bilangan ayat dalam mushaf, berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud
‘bersihkanlah Al-Qur’an. Sedang pemberian titik diperbolehkan karena titik
tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an. Titik merupakan
petunjuk atas keadaan huruf yang dibaca sehingga diperbolehkan untuk orang yang
memerlukannya.
Pada zaman berikutnya, banyak muslimin menyukai sesuatu yang
dahulunya ditolak dan ditentang, yaitu penggunaan tanda baca titik dan syakl
pada penulisan mushaf. Mereka yang dahulu mengkhawatirkan terjadinya perubahan
nash al-qur’an karena ditulis dengan tanda syakl dan titik, sekarang malah
mengkhawatirkan terjadinya salah baca pada orang-orang awam yang tidak mengerti
penulisan mushaf tanda dibubuhi tanda-tanda baca. Jadi prinsip menjaga nash
al-qur’an dengan seketat-ketatnya itulah yang merupakan sebab pokok yang
membuat orang pada suatu masa tidak menggunakan titik dan syakl dalam penuilsan
Al-Qur’an sedang menyukai pengguanaannya. An-Nawawi misalnya, berkata:
penulisan mushaf dengan membubuhkan titik dan syakl adalah mustahab
(lebih disukai, karena hal itu merupakan pencegahan bagi kemingkinan terjadinya
salah-baca dan pengubahan Al-Quran.
min mau tanya dong artikel tentang (Penyempurnaan Tanda Baca: Tasydid, Saktah, Sajdah, Nomor Ayat, Imalah, Tashil, Juz, Rubu’ Tsumun) ini ambil dari refrensi buku apa ya?
ReplyDelete