A. PENGERTIAN ILMU BALAGHAH
Balaghah bisa diartikan menggapai
tujuan dan tutur kata yang baik. Secara istilah, balaghah adalah menyampaikan
makna yang luhur secara jelas dengan menggunakan ungkapan yang shahih dan
fashih. Secara jelas maksudnya pembicara menyampaikan suatu ungkapan dengan
lugas sehingga mudah difahami dan tidak salah faham. Adapun yang dimaksud
shahih adalah sesuai dengan kaidah sharaf dan nahwu. Sedangkan fashih adalah
ungkapan itu harus tersusun dari kata-kata yang mengandung maksud yang
dikehendaki oleh pembicara.
|
Ilmu Balaghah |
Dalam pendapat lain, Ilmu
balaghah merupakan sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan masalah kalimat,
yaitu mengenai susunannya, maknanya, pengaruh jiwa, keindahan, dan kejelian
pemilihan kata yang sesuai dengan tuntutan.
B. PEMBAGIAN ILMU BALAGHAH
Dalam ilmu balaghah, ada 3 cabang
atau subdisplin ilmu, yaitu ilmu bayan, ilmu ma’ani, dan ilmu badi’.
● ILMU BAYAN
1. Pengertian Ilmu Bayan
Menurut terminologi, ilmu bayan
adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara mengungkapkan bahasa dengan
susunan kalimat yang beragam, di mana yang sebagian lebih jelas penunjukan
maknanya atau lebih berkesan dari yang lain. Jadi ilmu bayan adalah uslub
mengungkapkan suatu maksud dengan redaksi yang berbeda-beda. Ilmu bayan juga berkaitan
dengan keindahan berbahasa yang pengungkapannya menggunakan kata-kata indah dan
mampu meninggalkan kesan yang mendalam di hati pendengar atau pembaca.
Sekarang perhatikan 3 ungkapan
berikut yang menunjukkan seseorang yang mempunyai sifat dermawan!
هُوَ كالبَحْر فِي الكَرَمِ
“Dia seperti lautan dalam
kemurahannya”
رَأَيْتُ بَحْرًا فِيْ مَنْزِلِنَا
“Saya melihat lautan di rumah
kami”
هُوَ كَثِيرُ الرَّمَادِ
“Dia banyak abunya”
Pola kalimat pertama menggunakan
uslūb at-tasybīh, yang kedua menggunakan uslūb al-majāz; dan ketiga menggunakan
uslūb al-kināyah. Pada kalimat pertama, pembicara atau penulis menyerupakan
seseorang dengan lautan dalam kemurahannya. Pada kalimat kedua, pembicara atau
penulis melihat lautan yang merupakan kata al-majāz (Isti‘ārah) dari orang yang
memiliki sifat pemurah. Pada kalimat ketiga, pembicara atau penulis menyatakan
seseorang banyak abunya yang merupakan kinayah dari sifat pemurah. Seseorang memiliki banyak abu di dapur karena
banyak kayu bakar. Seseorang memiliki banyak kayu bakar karena keseringan atau
banyak yang dimasak. Seseorang yang banyak atau sering masak karena banyaknya
atau seringnya tamu yang bertandang (datang) ke rumahnya. Orang yang seperti
itu pasti memiliki sifat pemurah.
2. Topik Bahasan Ilmu Bayan
Ada 3 bahasan pokok dalam ilmu
bayan, yaitu: At-Tasybīh (التشبيه),
Al-Majaz (المجاز), dan Al-Kinayah (الكناية).
a. Tasybih
Tasybih adalah menjelaskan bahwa
suatu perkara bersekutu dengan yang lainnya dalam satu sifat atau lebih dengan
menggunakan perantara yaitu kaf (ك)
dan sejenisnya baik secara tersurat maupun tersirat. Contoh:
خَالِدٌ كَالْأَسَدِ فِي الشَّجَاعَةِ
Artinya: "Khalid seperti
singa dalam keberanian”.
الْعِلْمُ كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ
Artinya: “Ilmu itu seperti cahaya
dalam hal memberi petunjuk.”
Dari contoh yang pertama didapati
bahwa khalid diserupakan dengan singa karena keduanya mempunyai sifat yang sama
yaitu sama-sama berani. Disyaratkan pula bahwa musyabbah bih itu lebih kuat
daripada musyabbah.
Dalam susunan uslub tasybih,
terdapat 4 rukun tasybih, yaitu:
a. Musyabbah (المـُشَبَّهُ)
yaitu sesuatu yang diserupakan
b. Musyabbah bih (المـُشَبَّهُ بهِ)
yaitu sesuatu yang diserupakan dengan
c. Adat tasybih (أَداةُ التَّشْبيهِ)
alat atau perantara tasybih
d. Wajah syabah (وَجْهُ الشَّبَهِ)
sifat yang menjadi letak kesamaan.
Rukun tasybih yang pertama dan
kedua disebut denga tharaf (طَرَف)
dan wajib dimunculkan dalam tasybih. Sedangkan rukun ketiga dan keempat boleh
dimunculkan atau dihilangkan.
Mari kita telaah kembali contoh
tasybih yang kedua:
الْعِلْمُ كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ
Dari contoh tersebut kata yang
menjadi musyabbah adalah kata (الْعِلْمُ),
musyabbah bih adalah kata (النُّوْرِ),
adat tasybihnya kata (ك),
dan wajah syabahnya adalah kata (الْهِدَايَةِ).
Karena adat dan wajah boleh tidak
disebutkan, maka susunan berikut juga termasuk tasybih:
الْعِلْمُ نُوْرٌ
b. Majaz
Majaz adalah kata yang digunakan
bukan pada makna aslinya karena adanya hubungan (alaqah) dan alasan yang
menghalangi untuk difahami dengan makna aslinya atau makna kamus. Dalam ilmu
bayan, majaz dibagi menjadi dua, yaitu majaz aqli dan majaz lughawi.
1) Majaz Aqli
Majaz aqli adalah menyandarkan
perbuatan (aktivitas) kepada suatu atau benda yang bukan aslinya karena adanya
‘alaqah ghair al-musyabahah (hubungan tidak adanya unsur kesamaan antara makna
asli dan makna yang mengalami perubahan) dan qarinah (susunan kalimat) yang
mencegah terjadinya penyandaran makna ke lafaz tersebut. Dinamakan aqli, karena
majaz jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya dengan menggunakan akal.
Contoh:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا
لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ
فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ
زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ
فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (37)
Artinya: “Dan berkatalah Fir'aun:
"Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya Aku
sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat
Tuhan Musa dan sesungguhnya Aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah
dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi
dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa
kerugian.” (QS. Ghafir [40]: 36-37).
Pada ayat ini disebutkan bahwa
perbuatan (aktivitas) membangun gedung yang menjulang disandarkan kepada
seorang bernama Haman padahal ia bukan pelaku sebenarnya. Yang membangun itu
adalah para pekerja, tetapi Haman bertindak sebagai pengawas proses pembangunan
itu.
2) Majaz Lughawi
Majaz lughawi adalah kata yang
tidak difahami dengan makna aslinya karena ada alaqah dan qarinah yang mencegah
makna asli. Dalam majaz lughawi, suatu makna difahami dengan makna lain karena
unsur kebahasaan. Majaz lughawi terbagi lagi menjadi istiarah dan majaz mursal.
● Istiarah
Istiarah adalah kata yang tidak
difahami dengan makna aslinya dan mulanya uslub tasybih yang dibuang salah satu
tharafnya. Maka alaqah atau hubungan makna asli dan makna yang dimaksud dalam
istiarah adalah musyabahah.
Contoh:
رَأَيْتُ بَحْرًا فِي السُّوْقِ
Artinya: saya melihat “laut” itu
di pasar.
Kata (بَحْرًا)
pada contoh di atas tidak dimaknai sebagai hakikat melainkan merujuk pada
seseorang yang pemurah.
● Majaz Mursal
Majaz mursal adalah suatu lafaz
yang dipergunakan bukan pada makna aslinya karena adanya alaqah ghair
musyabahah (hubungan bukan perumpamaan) disertai qarinah (alasan/bukti) yang
mencegahnya dari makna asli. Majaz mursal berbeda dengan kinayah karena pada
kalimat yang berbentuk kinayah tidak harus ada qarinah yang mencegah suatu
lafaz dari makna aslinya. Dinamakan “mursal” karena ia tidak dibatasi oleh
pemaknaan tertentu.
Contoh:
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
Artinya:“Sesungghnya orang-orang
yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan.” (QS.
Al-Muthaffifin: 22)
Yang dimaksud dengan kenikmatan
pada ayat tersebut adalah tempatnya kenikmatan yaitu surga.
c. Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang
disampaikan dan yang dimaksud adalah kelaziman maknanya, disamping boleh juga
yang dimaksud pada makna yang sebenarnya. Simpelnya kinayah adalah idiom.
Contoh:
عَلِيٌّ كَثِيْرُ الرَّمَادِ
Artinya: Ali mempunyai banyak
abu.
Maksud dari ungkapan di atas
adalah bahwa Ali adalah orang yang dermawan. Orang Arab melazimkan bahwa yang
dermawan pasti suka menjamu orang dan tentunya sering masak di rumah. Dahulu
kala orang masak menggunakan kayu bakar sehingga menghasilkan hasil abu yang
banyak.
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Artinya: Dan (begitu pula)
istrinya (istri Abu Lahab), pembawa kayu bakar.
Pembawa kayu bakar diartikan
penyebar fitnah. Istri Abu Lahab disebut pembawa kayu bakar karena dia selalu
menyebar-nyebarkan fitnah untuk memburuk-burukkan nabi Muhammad saw. dan kaum
Muslim.
● ILMU MA’ANI
1. Pengertian Ilmu Ma’ani
Ilmu ma’ani adalah ilmu yang
mempelajari kesesuaian antara konteks pembicaraan dengan situasi dan kondisi
sehingga maksud dan tujuan bisa tersampaikan secara jelas dan gamblang.
Definisi lainnya, ilmu ma'ani
adalah pokok-pokok dan dasar-dasar untuk mengetahui tata cara menyesuaikan
kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal halnya) sehingga cocok dengan tujuan
yang dikehendaki.
Berdasarkan definisi di atas,
dalam ilmu ma’ani terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan, yaitu kondisi
audien (pendengar) dan obyek (topik pembicaraan).
2. Kondisi Audien (pendengar)
Pembicaraan harus disesuaikan
dengan kapasitas intelektual audien. Bahasa yang digunakan ketika berbicara
dengan orang yang tingkat intelektualnya tinggi, tentu berbeda dengan orang
yang tingkat intelektualnya rendah. Misalnya penggunaan cara berbahasa dengan
seorang mahasiswa di perguruan tinggi berbeda dengan seorang murid Sekolah
Dasar atau orang yang pernah mengenyam pendidikan dengan orang yang tidak
pernah mengenyam pendidikan.
Kalau berbicara dengan orang
terdidik kita cukup menggunakan kalimat yang singkat dan padat bukan
bertele-tele. Dengan cara itu mereka sudah bisa memahami dan menangkap maksud
dan tujuan sang pembicara, tetapi sebaliknya kalau kita berbicara di hadapan
orang yang tidak terdidik maka dibutuhkan penggunaan kata-kata yang panjang dan
bertele-tele sekalipun maksud dan tujuan yang ingin disampaikan hanya sedikit.
Selain itu, kondisi audiens
ketika menanggapi suatu pembicaraan ada yang yakin, ragu, dan juga ingkar.
Tentunya uslub yang digunakan ketika menyampaikan suatu informasi kepada orang
yang yakin, orang yang ragu, dan orang yang ingkar akan berbeda. Biasanya
tambahkan huruf taukid pada suatu kalimat apabila menyampaikan informasi kepada
orang yang ragu, bahkan taukidnya lebih dari satu apabila audiensnya membantah
informasi tersebut.
3. Obyek/Topik Pembicaraan
Obyek pembicaraan memegang
peranan penting dan substansial dalam ilmu ma’ani. Obyek pembicaraan juga harus
disesuaikan dengan kadar intelektual audien. Karena ada obyek pembicaraan yang
bisa dijangkau oleh audien dan sebaliknya ada obyek-obyek pembicaraan yang
tidak bisa terjangkau oleh akal dan kadar keilmuannya. Kemampuan menganalisa dan
problem solving (memecahkan masalah) tentu tidak akan mampu dilakukan oleh
anak-anak yang masih belajar di bangku sekolah tingkat dasar.
4. Topik Bahasan Ilmu Ma’ani
Ada beberapa topik inti yang
menjadi pembahasan para ulama Balāghah dalam ilmu Ma’ani, yaitu:
● Khabar dan Insya’
Khabar atau kalimat berita adalah
ungkapan yang bisa dinilai bahwa yang menyampaikannya bohong atau tidak.
Sedangkan insya’ sebaliknya.
Contoh kalam khabar:
إِنَّ أَبَاكَ لَمَرِيْضٌ
Artinya: “sesungguhnya ayahmu
benar-benar sakit”.
Kalam khabari dengan dua taukid.
Contoh kalam insya’:
فَلْيَقُلْ خَيْرًا
أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya: Maka hendaklah
mengatakan yang baik atau diam”.
Kalam insya’i dengan uslub amr
(perintah).
● Musnad dan Musnad Ilaih
Kalimat dalam bahasa Arab terbentuk
dari jumlah ismiyyah (terdiri dari mubtada’ dan khabar) dan jumlah fi’liyyah (terdiri dari fi‘il dan fa‘il). Dalam Ilmu
Balagah kedua unsur pembentuk susunan kalimat tersebut dinamakan Musnad (المسند)
dan Musnad Ilaih (المسند إليه).
Contoh:
مُحَمَّدٌ
قَائِمٌ
قَامَ مُحَمَّدٌ
Dalam kedua kalimat di atas, kata
(مُحَمَّدٌ) merupakan tempat
disandarkannya perbuatan berdiri atau disebut musnad ilaih. Sedangkan kata (قَائِمٌ)
dan (قَامَ) merupakan perbuatan
yang disandarkan kepada Muhammad atau disebut Musnad.
● Ijaz, Musawah dan Ithnab
Ijaz adalah kalimat yang ringkas.
Musawah adalah ungkapan yang setara. Sedangkan ithnab adalah kalimat yang
bertele-tele.
Contoh ijaz:
اَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ (اعراف: 54)
Artinya: “...Ketahuilah milik
Allah segala penciptaan dan urusan....” (QS. Al-A’rāf [7]: 54)
Kata (الخلق)
yang artinya penciptaan dan kata (الأمر)
yang artinya urusan mengandung makna semua atau segala hal yang berkaitan
dengan penciptaan makhluk dan urusannya seperti hidup, mati, senang, bahagia
dan lain-lain itu sudah terkandung dalam makna ayat ini.
Contoh musawah:
مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ
Artinya: ”Barang siapa yang kafir
(ingkar) maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu.” (QS.
Ar-Rūm: 44)
Contoh ithnab:
قَالَ رَبِّ إنِّيْ وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ
الرَّأْسِ شَيْبًا
Artinya: Ia berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya
tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, (QS. Maryam: 4).
Maksud ayat diatas adalah: “Saya sudah tua”.
● Qashr
Qashr adalah gaya bahasa
pengkhususan.
Contoh qashr:
وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا
يَشْعُرُونَ
Artinya: “dan tidaklah mereka
menipu kecuali kepada dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS.
Al-Baqarah: 9).
● Fashal dan Washal
Fashal dan washal membahas
tentang menyambung atau memisahkan kalimat dengan kalimat yang lainnya
menggunakan huruf athaf ‘wau”.
Contoh fashal:
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْأيتِ
Artinya: “Dia (Allah) yang
mengatur urusan dan menjelaskan tanda-tanda” (Ar- Ra’d: 2)
Contoh washal:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلَا
تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
Artinya: “Dan sembahlah Allah
serta janganlah kalian menyekutukan-Nya….” (An-Nisa’: 36).
Simpulan:
> Ilmu ma’ani membahas
macam-macam uslub (gaya bahasa) atas dasar struktur kalimat.
> Tujuan dari mempelajari ilmu
ma’ani:
• Agar pembicaraan disesuaikan
dengan keadaan audien sehingga bisa berkomunikasi dengan efektif.
• Menjaga lisan dari kesalahan
berbicara.
• Mengetahui kemukjizatan
al-Qur'an melalui aspek kebagusan susunan dan sifatnya, keindahan kalimat,
kehalusan bentuk ijaz yang telah diistemawakan oleh Allah dan segala hal yang
telah dikandung oleh al-Qur'an itu sendiri.
• Mengetahui rahasia balaghah dan
fashahah dalam bahasa Arab yang berupa prosa dan puisi agar dapat mengikutinya
dan menyusun sesuai dengan aturannya serta membedakan antara kalimat yang bagus
dengan yang bernilai rendah.
• Apabila berposisi sebagai
audiens, kita bisa lebih memahami maksud pembicara lebih dalam.
● ILMU BADI’
1. Pengertian Ilmu Badi’
Dalam istilah ilmu balaghah, ilmu
badi’ adalah ilmu yang mempelajari tentang keindahan suatu kalimat baik dari
segi lafaz maupun makna.
Dari pengertian di atas, dapat
kita fahami bahwa tujuan mempelajari ilmu badi’ adalah agar pembicaraan kita
enak didengar oleh mustami’. Tentunya agar pembicaraan kita indah, kita harus
memilih diksi kata yang tepat baik dilihat dari segi pelafalan maupun maknanya.
2. Bahasan Ilmu Badi’
Dalam ilmu badi’, ada dua tema
bahasan, yaitu muhassinatul lafhdziyyah dan muhassinatul ma’nawiyyah.
● Muhassinat Lafdziyyah
Muhassinatul lafdziyyah adalah
cara untuk memperindah kata dari segi pelafalan atau bunyinya.
a. Jinas
Jinas adalah penggunaan dua
kata dalam sama atau mirip satu ungkapan namun berbeda dalam maknya. Ada dua
macam jinas, yaitu:
1). Jinas tam, yaitu dua kata
yang sama pengucapannya dalam empat hal, yaitu: jenis huruf, harakat huruf,
jumlah huruf dan urutan huruf. Dari keempat tersebut ada yang perlu diketahui
bawha huruf tambahan selain dalam shighat tashrif seperti alif lam ta’rif dan
juga harakat terakhir tidak termasuk kategori 4 hal tersebut.
Contoh di Al-Qur’an:
وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُوْنَ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ
سَاعَةٍ كَذَالِكَ كَانُواْ يُؤْفَكُوْن
2). Jinas ghair tam, yaitu dua
kata yang mirip pengucapannya tetapi tidak sama pada salah satu dari empat hal,
yaitu: jenis huruf, harakat huruf, jumlah huruf dan urutan huruf.
Contoh:
ذَلِكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَفْرَحُوْنَ فِيْ الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقّ وَبِمَا
كُنْتُمْ تَمْرَحُوْنَ
b. Iqtibas
Iqtibas adalah mengutip
suatu kalimat dari Al-Qur’an atau Hadist, lalu disisipkan ke dalam prosa atau
syair tanpa dijelaskan bahwa kalimat yang dikutip tersebut diambil dari
Al-Qur’an dan Hadist.
Contoh:
لاَ تَغُرَّنَّكَ مِن الظَّلَمَةِ كَثْرَةُ
الْجُيُوْشِ وَالْأَنْصَارِ (إِنَّمَا نُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ
فِيْهِ الْأَبْصَارُ)
Artinya: Jangan engkau tertipu
daya dalam kezaliman dengan banyaknya bala tentara dan pelindung, sesungguhnya
kami tangguhkan (azab mereka) pada hari
di mana mata terbelalak.
c. Saja’
As-saja‘ adalah kesamaan huruf
akhir pada dua fashilah atau susunan kalimat. Yang dimaksud fashilah bisa bait,
ayat, kalimat, atau penggalan kalimat.
Contoh:
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا، وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
Artinya: Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
(QS. Al-Ma’arij: 20-21)
● Muhsinat Ma’nawiyah
Muhassinatul ma’nawiyyah adalah
cara mengindahkan makna dalam suatu ungkapan.
a. Tauriyah
Tauriyah adalah mengungkapkan
suatu lafaz yang mempunyai dua makna: pertama, makna dekat dan jelas yang tidak
dimaksud. Kedua, makna jauh dan samar dan inilah yang dimaksud mutakallim.
Contoh pada kisah Nabi Ibrahim
ketika beliau dalam perjalanan dengan istrinya Siti Hajar. Di tengah perjalanan
keduanya di tangkap oleh penguasa yang sangat kejam dan bengis. Untuk
menyelamatkan istrinya dari kebengisan sang penguasa, Nabi Ibrahim menjawab
dengan menggunakan uslub at-tauriyah ketika diintrogasi oleh sang penguasa,
“Siapa perempuan ini?” Nabi Ibrahim menjawab,
هَذِهِ أُخْتِيْ
Artinya dia adalah saudariku.
Kata (أختي)
dalam konteks kalimat ini mengandung tauriyah yang mempunyai dua makna. Bisa
dimaknai saudari karena nasab atau saudara karena seagama. Sedangkan yang
dimaksud Nabi Ibrahim as adalah saudara seagama. Kata tersebut sengaja
diucapkan Nabi Ibrahim untuk menjaga identitas istrinya. Seandainya beliau menjawab
Hajar adalah istrinya bisa jadi dia akan dibunuh.
b. Thibaq
Thibaq adalah berkumpulnya dua
makna yang berlawanan dalam satu kalimat.
Contoh Thibaq:
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ
رُقُودٌ
Artinya: “Dan
kamu mengira mereka itu bangun padahal
mereka tidur….” (QS. al-ahfi : 18)
c. Muqabalah
Muqabalah adalah mengungkapkan
dua lafaz atau lebih lalu diiringi dua lafaz lain yang merupakan antonim (lawan
kata) dari dua lafaz pertama dan disebutkan secara beriringan.
Contoh:
فَلْيَسْهَرُوْا كَثِيْرًا وَلْيَنَامُوْا
قَلِيْلاً
artinya:
“Hendaklah mereka sering
terbangun (malam hari) dan sedikit tidur!”
Kata (يَسْهَرُوْا)
dan (كَثِيْرًا) berantonim dengan (يَنَامُوْا)
dan (قليلا).
d. Husnut ta’lil
Husnut ta’lil adalah pengingkaran
seorang sastrawan secara terang-terangan atau pun terpendam tentang alasan
suatu peristiwa yang telah dikenal umum, dan ia mendatangkan alasan lain yang
bernilai sastra yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.
Contoh:
كَانَ احْتِرَاقُ الدَّارِ حُزْنًا عَلَى غِيَابِ
أَهْلِهَا
Artinya: Terbakarnya rumah itu
karena ia sedih ditinggalkan penghuninya
e. Uslub al-Hakim
Uslub al-hakim adalah gaya bahasa
yang disampaikan oleh seseorang dalam memberikan jawaban terhadap sebuah
persoalan dengan jawaban yang keluar dari topik persoalan.
Contoh:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ
لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu
tentang hilal. Katakanlah “itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan
(ibadah) haji. (Al-Baqarah: 189)
Selain uslub di atas, para ulama
balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain seperti itbâ’, istitbâ’,
tafrî’ dan sebagainya, namun diantara yang paling sering dikemukakan dan
kita jumpai adalah lima pola diatas.
Mungkin kalau disertakan sumber referensinya akan terasa lebih kuat untuk bahan penelitian. terimakasih kepada admin yang sudah membuat artikel ini sehingga mudah dipahami oleh orang awam seperti saya.
ReplyDelete