Home · Tajwid · Sharaf · Nahwu · Balaghah · Do'a · Daftar Isi

Kadar Zakat Fitrah Menurut Mazhab

Ukuran Zakat Fitrah | Kadar Zakat Fitrah
Zakat fitrah merupakan kewajiban muslim baik laki-laki, perempuan, dewasa, anak-anak, bahkan bayi baru lahir sekalipun. Pada dasarnya ukuran zakat itu 1 sha' atau 4 mud. Namun banyak yang jadi perdebatan tentang ukuran per mudnya.
Zakat
MADZHAB MALIKI
Satu sha' menurut mazhab MALIKI setara dengan empat mud dimana satu mud sama dengan sebanyak isi telapak tangan sedang jika mengisi keduanya lalu membentangkannya (Subulus Salam, hal. 111) atau sama dengan 675 Gram. Jadi satu Sha 'sama dengan 2700 Gram (2,7 kg) (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut, Dar al-Fikr, tt, Juz II, hal. 910).
MADZHAB SYAFII
Begitu juga menurut mazhab SYAFI'I, satu sha' sama dengan 693 1/3 dirham (Al-Syarqawi, Op cit, Juz I, hal. 371. Lihat juga Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Dar al-Fikr, Juz I, hal. 295; Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Dar al-Fikr, Juz II, hal. 141), setara dengan 4 mud (Lisaanul Arab 3/400) atau 2751 gram (2,75 kg) (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiq al Islami Wa Adilatuhu, Dar al-Fikr, Juz II hal, 911).
Takaran/ukuran ini sependapat dengan kalangan mazhab HAMBALI bahwa satu sha' sama dengan 2751 gram (2,75 kg).
MADZHAB HANAFI
Imam HANAFI berpendapat berbeda, satu sha' menurut madzhab ini adalah 8 rithl ukuran Irak. Satu rithl Irak sama dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8 kg) (Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya Wahbah Zuhailli Juz II, hal. 909).
Bahkan, madzhab Hanafi memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan harga atau uang yang senilai dengan bahan makanan pokok dibayarkan, sedangkan madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali tidak boleh. Ke-3 Imam tersebut hanya mewajibkan menunaikan zakat fitrah dengan makanan pokok seperti kurma dan gandum atau bahan pokok yang biasa dikonsumsi sehari-hari oleh penduduk suatu negeri contoh-nya beras untuk di Indonesia.
MAJLIS ULAMA INDONESIA
Sementara, MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) menganjurkan agar umat Muslim yang niat membayar zakat fitrah yang penyalurannya dapat melalui amil pada rumah zakat agar menggenapkan hitungannya menjadi 3 kg orang (Lajnah Daimah, no. fatwa: 12572).
Jadi, perhitungan-nya berubah dari 2,5 kg pada perhitungan selama ini. Harapannya, dengan cara penggenapan besaran zakat fitrah ini agar dapat menjadi jalan tengah atas perdebatan dan polemik yang selama ini berkembang berkaitan dengan jumlah besaran zakat fitrah.
Wallahu a'lamu bisshawab.

Artikel keren lainnya:

Pengertian Asbabun Nuzul dan Macam-macamnya

Pengertian Asbabun Nuzul | Macam-macam Asbabun Nuzul
Pengertian Asbabun Nuzul
Istilah asbab an-nuzul merupakan frase dari kata “asbab” dan “nuzul”. Dari segi bahasa,  asbab an-nuzul dapat diartikan sebab-sebab turunnya sesuatu. Dalam istilah syara’, asbabun an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Mushaf Al-Qur'an
Adapun menurut para ulama, asbab an-nuzul didefinisikan:
1. Mana’ Al-Qhathan:
“Asbabun nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya Al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan (yang diajukan kepada Nabi).”
2. Al-Wakidi:
“Asbabun nuzul adalah peristiwa sebelum turunya ayat, walaupun “sebelumnya” itu masanya jauh, seperti adanya peristiwa gajah dengan surat Al-Fiil.”
3. Shubhi Shalih:
“Asbabun nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat. Al-Qur’an (ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.”
4. Az-Zarqani:
“Asbabun nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubunganya dengan turunya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”
5. Ash-Shabuni:
“Asbabun nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.”
Dari beberapa pengertian asbab an-nuzul di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1. Bila terjadi peristiwa maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa itu.
2. Bila Rasullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Al-Qur’an yang mengenai hukumnya.
Fungsi Asbanun Nuzul
Mengetahui sebab-sebab turunnya suatu ayat tentunya mempunyai banyak fungsi, diantaranya:
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga memiliki keraguan umum.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
6. Penegasan bahwa Al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT, bukan buatan manusia.
7. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberi pengertian penuh pada Rasulullah dalam menjalankan misi risalahnya.
8. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al-Qur’an.
9. Seseorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat aitu harus diterapkan.
10. Mengetahui hikmah disyariatkannya suatu hukum.
Macam-macam Asbanun Nuzul
Dilihat dari sudut pandang berbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk satu asbab an-nuzul.
1. Berbilangnya ayat untuk satu sebab
Terkadang banyak ayat turun, sedangkan sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Said bin Mansur, ‘Abdurrazaq, Tirmidzi, Ibn jarir, Ibnul Munzir, Ibn Abi Hatim, Thabrani dan Hakim yang mengatakan shahih, dari Ummu salamah, ia berkata : “Rasullullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah.” Maka Allah menurunkan: maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan firman) : “sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...(Ali ‘Imran :195).
Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa’i, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Tabarani, dan Ibn Mardawih dari Ummu Salamah yang mengatakan ; “Aku telah bertanya : Rasulullah, mengapa kami tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki? maka suatu hari aku dikejutkan oleh suara Rasulullah di atas mimbar. Ia membacakan: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan Muslim...... sampai akhir ayat 35 Surat al-Ahzab.”
Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan: Kaum laki-laki berperang sedang kaum perempuan tidak. Disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan terhadap apa yang dikaruniakan sebagian dari kamu lebih banyak dari sebagian yang usahakan, dan bagi para wanitapun ada bagian dari apa yang mereka usahan pula.. (an-Nisa’ :32) dan ayat: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim....” Ketiga ayat tersebut turun dari satu sebab.
2. Beberapa ayat turun mengenai satu orang
Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih dari satu kali, dan Al-Qur’an pun turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu, banyak ayat yang turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu, banyak ayat yang turun mengenai nya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang berbakti kepada kedua orang tua. Dari Sa’ad bin Abi Waqqas yang mengatakan : “ada empat ayat Al-Qur’an turun berkenaan denganku.”
Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah menurunkan: “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergauilah keduanya didunia dengan baik” (Luqman:15).
Kedua, ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rasulullah : “Rasulullah, berikanlah kepadaku pedang ini”. Maka turunlah: “Mereka  bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang (Al-Anfal :1).
Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah datang mengunjungiku kemudian aku bertanya kepadanya: “Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya?” Rasulullah diam. Maka wasiat dengan sepertiga harta itu dibolehkan.
Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr) bersama kaum Anshar, seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang unta. Lalu aku datang kepada Rasulullah , maka Allah ‘Azza Wajalla menurunkan larangan minum khamr.”
Dilihat dari sudut pandang redaksi yang digunakan dalam riwayat asbab an-nuzul, ada dua jenis redaksi, yaitu sharih (jelas) dan muhtamil (kemungkinan).
Banyak riwayat mengenai sebab turunya suatu  ayat. Dalam keadaan demikian sikap seorang mufassir terhadap keadaan tersebut sebagai berikut:
1. Apabila bentuk redaksi tidak tegas, seperti : “ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu, sebab maksud riwayat–riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk kedalam makna ayat yang disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada qorinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “ayat ini turun mengenai urusan ini”, sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk didalam hukum  ayat.
3. Apabila riwayat banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat diantaranya itu shahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih.
4. Apabila riwayat-riwayat itu sama namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
5. Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan.
6. Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dipandang sebagai banyak berulangnya nuzul.

Artikel keren lainnya:

Tata Cara Shalat ‘Idul Fitri (Panduan Ringkas Shalat 'Id)

Tata Cara Shalat ‘Idul Fitri | Panduan Shalat 'Idul Fitri
Shalat ‘idul fitri dilaksanakan pada tanggal 1 syawal dimulai sejak terbit matahari hingga waktu dzuhur. Shalat idul fitri dilaksanakan dua rakaat secara berjamaah dan terdapat khutbah setelahnya. Namun, bila ada uzur untuk melaksanakan shalat ‘id secara berjamaah, maka boleh dilakukan secara sendiri-sendiri (munfarid) di rumah daripada tidak sama sekali.
Ilustrasi: Shalat Idul Fitri
Berikut tata cara shalat idul fitri secara tertib:
Pertama, berniat untuk melaksanakan idul fitri.
Niat shalat idul fitri:
أُصَلِّي سُنَّةً لِعِيْدِ اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ (مَأْمُوْمًا|إِمَامًا) لِلَّهِ تَعَالَى
Latin: Ushalli sunnatal liidil fithri rak’ataini (ma’muman/imaman) lillahi ta’ala.
Artinya: “Aku berniat shalat sunnah Idul Fitri dua rakaat (menjadi makmum/imam) karena Allah ta’ala.”
Melafalkan dan “makmûman” kalau menjadi makmum dan “imâman” kalau menjadi imam.
Hukum pelafalan niat ini sunnah. Yang wajib adalah ada maksud secara sadar dan sengaja dalam batin bahwa seseorang akan menunaikan shalat sunnah Idul Fitri. Sebelumnya shalat dimulai tanpa adzan dan iqamah (karena tidak disunnahkan), melainkan cukup dengan menyeru "ash-shalâtu jâmi‘ah".
Kedua, takbiratul ihram seperti shalat biasa.
Ketiga, membaca do’a iftitah.
Keempat, takbir 7 kali yang diselingi tasbih.
Setelah membaca doa iftitah, disunnahkan takbir lagi hingga tujuh kali untuk rakaat pertama. Di antara takbir-takbir itu dianjurkan membaca tasbih. Di antara lafalnya:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Latin: Allahu akbar kabiran, walhamdulillahi katsiran, wa subhanallahi bukrataw ashilan.
Artinya: “Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang.”
Atau membaca:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
Latin: Subhanallahi walhamdulillahi wa la ilaha illallahu wallahu akbar.
Artinya: “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah maha besar.”
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
Latin: Subhanallah wal hamdulillah wa  laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirli war hamni.
Artinya: “Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku.”
Kelima, membaca surat Al-Fatihah.
Keenam, membaca ayat Al-Qur’an.
Ketujuh, ruku’, iti’dal, dua kali sujud dan duduk antara sujud seperti pada shalat biasa.
Kedelapan, berdiri lagi dan takbir lima kali. Disela-sela takbir membaca tashbih seperti pada rakaat pertama.
Takbir yang lima kali tidak termasuk takbir intiqal yakni takbir ketika bangkit dari sujud.
Kesembilan, membaca Al-Fatihah sampai salam seperti pada shalat biasa.
Adapun setelah Al-Fatihah dianjurkan membaca surat Qaf pada rakaat yang pertama dan surat Al-Qamar pada rakaat yang kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah saw ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِــــ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
Artinya: “Nabi saw membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarabatis saa’atu wansyaqqal qamar” (surat Al Qomar) pada shalat ‘idain”
Boleh pula membaca surat Al-A’laa pada raka’at pertama dan surat Al-Ghasyiyah pada raka’at kedua. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
Artinya: “Rasulullah saw biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma rabbikal a’la” (surat Al-A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghasyiyah” (surat Al Ghasyiyah).” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.
Setelah selesai shalat i’dul fitri, sunnah mendengarkan khutbah. Dalam hal rukun dan syarat dalam khutbah ‘id sama dengan khutbah jum’at. Perbedaannya adalah kalau khutbah jum’at dilakukan sebelum shalat, sedangkan khutbah ‘id dilakukan setelah shalat. Selain itu, awal khutbah jum’ah diawali dengan hamdalah, sedangkan khutbah ‘id diawali dengan takbir sembilan kali.

Artikel keren lainnya:

Amalan Sunnah Pada Hari Raya 'Idul Fitri

Sunnah-sunnah Dalam Shalat Idul Fitri | Amalan Sunnah Ketika Idul Fitri
Setelah sebulan penuh kita berpuasa, maka tibalah kita merayakan Idul Fitri. Idul Fitri merupakan hari raya bagi ummat Islam di seluruh dunia. Pada malamnya bergema takbir dan esoknya melaksanakan shalat Idul Fitri.
Ilustrasi: Shalat Idul Fitri
Bagi yang hendak melaksanakan shalat idul fitri, ada beberapa hal yang disunnahkan yang jangan sampai kita lewatkan. Di antaranya:
> Banyak bertakbir
Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّرَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fitri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”
> Mandi sebelum berangkat shalat id
Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘id sebelum berangkat shalat.”
> Memakai parfum dan pakaian terbaik
Berdasarkan hadits yang diterima dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib,
“Rasulullah saw memerintahkan kami agar pada hari raya mengenakan pakaian yang paling bagus, memakai wangi-wangian paling harus dan berkurban dengan hewan yang paling berharga” (HR. Al-Hakim).
Dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya dan seterusnya dari kakeknya:
أَنَّ النَّبِيَّ صلعم كَانَ يَلْبَسُ بُرْدَ حِبْرَةٍ فِيْ كُلِّ عِيْدٍ (رواه الشافعي)
Artinya: “Nabi saw biasa memakai burdah (baju buatan Yaman) yang indah pada setiap hari raya.” (HR. Asy-Syafii).
> Makan sebelum berangkat id
Disunnahkan juga makan sebelum berangkat ke tempat shalat. Hendaknya makan buah kurma dalam jumlah ganjil. Dari Anas katanya:
كَانَ النَّبِيَّ صلعم لَا يَغْدُو يَوْمَ عِيْدِ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا (رواه أحمد والبخاري)
Artinya: “Pada hari raya Idul Fitri Nabi tidak pergi (ke tempat shalat) sebelum memakan beberapa kurma dan Nabi saw memakannya dalam jumlah ganjil (HR Ahmad dan Al-Bukhari).
> Menempuh jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulangnya
Selanjutnya sunnah juga melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ (رواه البخاري)
Artinya: “Nabi saw pada hari raya ‘id, beliau lewat jalan yang berbeda (ketika berangkat dan pulang untuk shalat ‘id).” (HR. Bukhari)
> Berjalan kaki
Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada uzur. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا
Artinya: “Rasulullah saw biasa berangkat shalat ‘id dengan berjalan kaki dan pulang dengan berjalan kaki juga.”
> Orang berhalangan shalat, ikut menghadiri shalat id
Hendaknya semua orang menghadiri shalat id baik itu wanita maupun anak kecil. Maksudnya bukan berarti mereka yang sedang haid atau nifas ikut shalat, melainkan hadir di sekitar orang yang shalat ‘id.
> Saling mendo’akan
Diterima dari Jubair bin Nufair, katanya:
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا الْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيْدِ يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ (قال الحافظ إسناده حسن)

Artinya: para sahabat Nabi saw jika bertemu pada hari raya ‘id mereka mengucapkan sebagian kepada yang lainnya “Taqabbalallahu minna waminkum” Semoga Allah menerima (amal) kami dan (amal) kalian. (Menurut Al-Hafidz, isnadnya baik).

Artikel keren lainnya:

Do’a Sebelum Makan dan Minum Lengkap Latin dan Terjemah

Do’a Makan dan Minum | Terjemah Doa Makan dan Minum
Dalam keadaan apapun, seorang muslim haruslah menggantungkan dirinya kepada Allah. Begitu pula ketika ia sedang makan. Islam telah mengajarkan kepada kita apabila hendak makan, maka harus berdo’a dan menyebut asma Allah.
Makan
Faidah dari berdo’a sebelum makan ialah:
• Mengingatkan diri bahwa Allahlah yang memberikan rezeqi kepada kita,
Pada hakikatnya, hanya Allah yang memberikan rezeqi kepada kita. Begitu pula dengan makanan dan minuman yang kita konsumsi setiap hari merupakan rezeqi yang Allah berikan kepada kita. Selain itu, rasa enak pada makanan juga kesegaran dalam minuman merupakan rezeqi bagi kita.
Tidak semua orang bisa makan dan minum dengan nikmat. Di luar sana, ada orang yang setiap hari menahan lapar karena kekurangan makanan. Adapula orang yang tidak merasakan nikmatnya makan karena dalam keadaan sakit. Pastinya kita pernah merasakan ketika sakit, semua makanan terasa hambar. Sudah selayaknya kita bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita berupa makanan dan minuman serta rasa nikmat ketika kita mengkonsumsinya.
• Supaya makanan yang masuk ke dalam tubuh kita menjadi keberkahan,
Tujuan dari makan adalah untuk asupan tubuh kita. Namun tidak sedikit, makanan menjadi racun bagi tubuh. Banyak orang yang sakit disebabkan karena makanan yang mereka konsumsi. Makanya kita harus berdo’a kepada Allah supaya makanan dan minuman yang kita konsumsi menjadi keberkahan bagi tubuh kita.
• Agar Setan tidak ikut makan bersama kita.
Dikatakan dalam hadis, bahwa orang yang makan tanpa membaca basmalah, maka Setan ikut makan bersamanya.
Berikut do’a yang biasa dibacakan ketika hendak makan dan minum:
Do’a Pertama
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْراً مِنْهُ
Latin:
“Allahumma barik lana fihi waath’imna khairan minhu”
Terjemah:
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami pada makanan ini dan berikanlah makanan kepada kami yang lebih baik darinya.”
Do’a Kedua
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Latin:
“Allahumma barik lana fima razaqtana waqina adzaban nar”
Terjemah:
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami pada apa yang Engkau rezeqikan kepada kami dan lindungilah kami dari siksa neraka.”
Kemudia membaca basmalah
بِسْمِ اللهِ الرًّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Latin:
“Bismillahir rahmanir rahim”
Terjemah:
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
Jika lupa membaca basmalah sebelum makan, maka bacalah do’a ini:
بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
Latin:
“Bismillahi awwalahu waakhirah”
Terjemah:
“Dengan menyebut nama Allah pada pada permulaanya dan pada ujungnya”
Adab Makan
Membaca do’a dan basmalah sebelum makan
Makan dengan tangan kanan
• Mengambil makanan yang terdekat
• Tidak makan sambil berdiri apalagi berjalan
• Membaca hamdalah dan do’a setelah makan
=========
Sumber do’a:
HR. Abu Daud, No. 3730
HR. Ibnu Sunni, No. 457
HR. Abu Daud, No. 3767-3768

Artikel keren lainnya:

Tauriyah: Pengertian dan Contoh

Pengertian Tauriyah | Contoh Uslub Tauriyah
Tauriyah termasuk ke dalam kategori muhassinatul ma’nawiyyah atau memperelok makna. Tauriyah (التورية) secara bahasa berarti menyembunyikan. Adapun dalam istilah ilmu balaghah, tauriyah didefinisikan:
أَنْ يَذْكُرَ الْمٌتَكَلِّمُ لَفْظاً مُفْردًا لَهُ مَعْنَيَانِ، قَريبٌ ظاهِرٌ غَيْرُ مُرَادٍ وَبَعيدٌ خَفِيٌّ هُوَ الْمُرَادُ.
Tauriyah adalah mengungkapkan suatu lafaz yang mempunyai dua makna: pertama, makna dekat dan jelas yang tidak dimaksud. Kedua, makna jauh dan samar dan inilah yang dimaksud mutakallim.
Ilustrasi Komunikasi
Yang dimaksud makna dekat dan jelas adalah makna yang mudah difahami oleh audiens. Sedangkan makna jauh dan samar adalah makna kurang jelas dan tidak bisa langsung difahami oleh audiens. Maka dengan demikian, antara pemahaman mutakallim dengan mukhathab tentang pernyataan yang dilontarkan oleh mutakallim akan berbeda.
Contohnya ketika Rasulullah saw. dan Abu Bakar melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Di tengah perjalanan keduanya bertemu dengan seorang Arab Badui. Orang tersebut tidak mengenal Rasulullah, ia hanya mengenal Abu Bakar lalu ia bertanya kepada Abu Bakar: "Siapa orang yang ada di sampingnya?" Demi menjaga keamanan dan keselamatan jiwa Rasulullah agar tidak terbongkar dan diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy, Abu Bakar menjawab dengan menggunakan uslub at-tauriyah:
هَادٍ يَهْدِيْنِي السَّبِيْلَ
Artinya "Penunjuk yang menunjuki saya jalan"
Lafaz (هَادٍ) pada konteks ini mengandung uslub at-Tauriyah di mana makna pertama adalah makna dekat yang mudah dipahami, yaitu penunjuk jalan. Adapun makna kedua yang jauh, yaitu orang yang menunjuki jalan kebenaran dari kafir menjadi Islam. Tetapi yang dimaksudkan oleh lafaz tersebut adalah makna jauh atau makna kedua. Kata tersebut sengaja di ucapkan Abu Bakar agar identitas Nabi tidak terbongkar.         
Contoh lain pada kisah Nabi Ibrahim ketika beliau dalam perjalanan dengan istrinya Siti Hajar. Di tengah perjalanan keduanya di tangkap oleh penguasa yang sangat kejam dan bengis. Untuk menyelamatkan istrinya dari kebengisan sang penguasa, Nabi Ibrahim menjawab dengan menggunakan uslub at-tauriyah ketika diintrogasi oleh sang penguasa, “Siapa perempuan ini?” Nabi Ibrahim menjawab,
 هَذِهِ أُخْتِيْ
Artinya dia adalah saudariku.
Kata (أختي) dalam konteks kalimat ini mengandung tauriyah yang mempunyai dua makna. Bisa dimaknai saudari karena nasab atau saudara karena seagama. Sedangkan yang dimaksud Nabi Ibrahim as adalah saudara seagama (istri). Kata tersebut sengaja diucapkan Nabi Ibrahim untuk menjaga identitas istrinya. Seandainya beliau menjawab Hajar adalah istrinya bisa jadi dia akan dibunuh.
Contoh-contoh Gaya Tauriyah
وَهُوَ الَّذِيْ يَتَوَفَّىكُمْ بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ
Artinya: “Dan Dialah yang mematikan kamu di waktu malam, dan Dia mengetahui apa yang kamu perbuat (dari dosa) di siang hari” (QS. Al-Ana’am; 60)
Kata (جَرَحْتُمْ) makna dekatnya adalah kalian melakukan perbuatan, makna jauhnya adalah kalian bebuat dosa.
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ
Artinya: “Dan langit itu kami bangun denga kedua tangan (kekuasaan) dan Kami benr-benar meluaskannya” (QS. Adz-Dzariyat; 47)
Kata (بِأَيْدٍ) bisa dimaknai kedua tangan atau kekuasaan. Namun makna yang kedualah yang dimaksud pada ayat ini.

Artikel keren lainnya: