Monday, November 30, 2020
Hikmah: Jagalah Pintu Surga (Berbakti Kepada Orang Tua)
Friday, November 20, 2020
Kultum: Manfaatkan Subuhmu! Subuh itu Kejam
"KEJAMNYA WAKTU SUBUH"
Saudaraku...
Saya yakin di antara kita sudah mengetahui keistimewaan waktu Subuh.
Hari ini ada baiknya kita melihat waktu Subuh dgn kacamata yg lain, yaitu
dari bahaya waktu Subuh bila kita tidak dapat memanfaatkannya.
Allah bersumpah dalam Al Fajr : “Demi fajar (waktu subuh)”.
Kemudian dalam Al-Falaq, Allah mengingatkan:
“Katakanlah! Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai waktu subuh”.
Ada apa di balik waktu Subuh?
Mengapa Allah bersumpah demi waktu Subuh?
Mengapa harus berlindung kpd yang menguasai waktu Subuh?
Apakah waktu Subuh sangat berbahaya?
Ya, ternyata waktu Subuh benar-benar sangat berbahaya!
Waktu Subuh lebih kejam dari sekawanan perampok bersenjata api.
Waktu Subuh lebih menyengsarakan dari derita kemiskinan.
Jika ada sekawanan perampok menyatroni rumah kita, dan mengambil paksa
semua barang kita: uang dan semua perhiasan emas digondolnya. Uang cash puluhan
juta ditilepnya. Laptop, yang berisi data2 penting kita juga diembatnya. Eh,
mobil yg belum lunas juga diembatnya dan rumah kita dibakarnya.
Bagaimana rasa pedih hati kita menerima kenyataan ini?
Ketahuilah,!!
bahwa waktu Subuh lebih kejam dari perampok itu.
Karena jika kita tergilas sang waktu Subuh sampai melalaikan shalat fajar,
maka kita akan menderita kerugian lebih besar dari sekedar kehilangan seluruh
harta kita.
Kita kehilangan dunia dan segala isinya.
Ingat sabda Rasulullah ﷺ : “Dua rakaat fajar lebih baik
dari dunia dan segala isinya” (HR Muslim).
Waktu Subuh juga lebih menyengsarakan dari sekedar kemiskinan dunia.
Karena bagi orang2 yg tergilas waktu Subuh hingga mengabaikan shalat Subuh
berjamaah di masjid, maka hakikatnya, merekalah orang2 miskin sejati yg hanya
mendapatkan upah 1/150 (0,7%) saja pahala shalatnya.
“…dan barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka ia bagaikan shalat
semalam suntuk” (HR Muslim).
Shalat semalam suntuk adalah shalat yang dikerjakan mulai dari tenggelamnya
matahari sampai terbit fajar. Fantastis!
Shalat selama sepuluh jam…, atau kurang lebih 150 kali shalat! Betapa agung
fadhilah shalat Subuh berjamaah ini. Sebaliknya betapa malangnya orang yg
tergilas waktu Subuh, orang2 yg mengabaikan shalat subuh berjamaah di masjid.
Waktu Subuh juga lebih berbahaya dari kobaran api yg disiram bensin.
Mengapa demikian? Tahukah Anda bahwa Nabi Muhammad Shalallhu alaihi
wassalam menyetarakan dengan orang Munafik bagi yg tidak mampu
melaksanakan shalat Subuh berjamaah di mesjid ?
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya tiada yang dirasa berat oleh seorang Munafik, kecuali
melaksanakan shalat Isya dan shalat Subuh berjamaah. Sekiranya mereka tahu akan
keagungan pahalanya, niscaya mereka bakal mendatanginya (ke masjid, shalat
berjamaah) sekalipun harus berjalan merangkak-rangkak” (HR Bukhari
Muslim).
Agar tidak merasakan gilasan waktu Subuh yg lebih kejam dari perampokan,
agar tidak terkena gilasan waktu Subuh yg lebih menyengsarakan dari derita
kemiskinan, dan panasnya kobaran api, maka: “Katakanlah! Aku berlindung kepada
Tuhan yang menguasai waktu subuh.” (Al Falaq:1).
Yaitu dengan bersegera memanfaatkan waktu Subuh sebaik-baiknya. Lakukan
shalat sunnah qabliyah Shubuh (shalat fajar) dan shalat Shubuh berjamaah di
masjid - bagi pria, di rumah - bagi wanita di awal waktu setelah azan
berkumandang.
Ayo jadi pejuang shubuh...!!!
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan
pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)
SEMOGA BERMANFAAT
Artikel keren lainnya:
Monday, November 16, 2020
Majaz (Aqli dan Lughawi) dalam Ilmu Balaghah
Majaz Dalam Ilmu Balaghah
Majaz adalah kata yang digunakan bukan pada makna aslinya karena adanya hubungan (alaqah) dan alasan yang menghalangi untuk difahami dengan makna aslinya atau makna kamus. Dalam ilmu bayan, majaz dibagi menjadi dua, yaitu majaz aqli dan majaz lughawi.
Majaz aqli adalah menyandarkan perbuatan
(aktivitas) kepada suatu atau benda yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah
ghair al-musyabahah (hubungan tidak adanya unsur kesamaan antara makna asli dan
makna yang mengalami perubahan) dan qarinah (susunan kalimat) yang mencegah
terjadinya penyandaran makna ke lafaz tersebut. Dinamakan
aqli, karena majaz jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya dengan menggunakan akal.
Berikut alaqah dan qarinah dalam majaz aqli:
1. As-sababiyyah
Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada penyebab langsung (pelaku).
Contoh:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي
صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ
Artinya: “Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman,
buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu”
(QS. Ghafir [40]: 37).
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) membangun
gedung yang menjulang disandarkan kepada seorang bernama Haman padahal ia bukan
pelaku sebenarnya. Yang membangun itu adalah para pekerja, tetapi Haman
bertindak sebagai pengawas proses pembangunan itu.
2. Az-zamaniyyah
Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada masa/waktu terjadinya.
Contohnya:
نَهَارُ الْـمُؤْمِنِ صَائِمٌ ولَيْلُهُ
قَائِمٌ
Artinya: "Siangnya orang mukmin itu berpuasa dan malamnya
bangun (untuk ibadah).”
Pada contoh ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) puasa
disandarkan kepada masa/waktu yaitu “siang” padahal “siang” itu bukan pelaku
sebenarnya, tetapi yang melakukan puasa itu adalah seorang mukmin pada waktu
siang hari.
3. Al-Makaniyyah
Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada tempat terjadinya.
Contohnya:
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ
عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
Artinya: “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga adn yang
di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya.” (Al-Bayyinah:
8).
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) mengalir
disandarkan kepada sungai-sungai padahal
sungai-sungai itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalir itu adalah
air-air yang bertempat di sungai-sungai.
4. Al-Mashdariyyah
Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada mashdarnya (kata
dasar/asal).
Contohnya:
سَيَذْكُرُنِي قَوْمِيْ إِذَا جَدَّ
جِدُّهُمْ # وَفِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ يُفْتَقَدُ البَدْرُ
Artinya: “Kaumku akan teringat kepadaku apabila mereka menghadapi
kesulitan. Pada malam yang gelap bulan purnama baru dirindukan (dicari-cari)”
Pada syair ini disebutkan bahwa aktivitas menghadapi kesusahan
disandarkan kepada mashdar (kata dasar) yaitu kata (جِدُّ) padahal mashdar itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang
mengalami kesusahan adalah orang-orang yang susah.
B. Majaz Lughawi
Majaz lughawi adalah kata yang tidak difahami
dengan makna aslinya karena ada alaqah dan qarinah yang mencegah makna asli.
Dalam majaz lughawi, suatu makna difahami dengan makna lain karena unsur
kebahasaan. Majaz lughawi terbagi lagi menjadi istiarah dan majaz mursal.
1. Istiarah
Istiarah adalah kata yang tidak difahami dengan
makna aslinya dan mulanya uslub tasybih yang dibuang salah satu tharafnya. Maka
alaqah atau hubungan makna asli dan makna yang dimaksud dalam istiarah adalah
musyabahah.
Dari segi qarinahnya, isti’arah dibagi menjadi tashrihiyyah dan
makniyyah.
a. Isti’arah Tashrihiyyah
Isti’arah tashrihiyyah adalah isti’arah yang disiratkan dengan
musyabbah bih.
Contoh:
رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْفَصْلِ
Artinya: Saya melihat “singa” di kelas.
Pada contoh di atas, seorang yang pemberani (رَجُل شُجَاع) diserupakan dengan (أسدا) (singa), karena sama-sama memiliki sifat keberanian.
b. Isti’arah Makniyyah
Isti’arah makniyyah adalah kalimat yang musyabbah bihnya dibuang
lalu disiratkan dengan sesuatu dari salah satu sifatnya.
Contoh:
غَرَّدَ الشاعر بِقَصِيْدَة
Pada contoh pertama, penyair diserupakan dengan burung karena
sama-sama bernyanyi yang disiratkan dengan kata (غَرَّدَ) yang artinya berkicau.
Dari segi kata pembentuknya, isti’arah dibagi menjadi ashliyyah dan
taba’iyyah.
a. Isti’arah Ashliyyah
Isti’arah ashliyyah adalah apabila lafaz yang tempat berlangsungnya
al-isti‘arah itu terbentuk dari isim jamid. Isti’arah ashliyyah qarinahnya
tashrihiyyah.
Contoh:
رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْفَصْلِ
b. Isti’arah Taba’iyyah
Isti’arah taba’iyyah adalah lafaz yang tempat berlangsungnya
al-isti‘arah itu terbentuk dari isim musytaq atau fi’il. Isti’arah taba’iyyah qarinahnya
makniyyah.
Contoh:
وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا
Dari segi tanda, isti’arah dibagi menjadi murasysyahah, mujarradah,
dan muthlaqah.
a. Murasysyahah
Yaitu isti’arah yang disebutkan tanda musyabbah bihnya.
Contoh:
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ
بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
Artinya: “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan
petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka
mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 16).
Yang menjadi isti’arah adalah kata (اشْتَرَوُا) yang berarti membeli dan yang dimaksudkan memilih. Kata
tersebut ditandai dengan kata (فَمَا رَبِحَتْ) yang artinya tidak mendapat untung.
b. Mujarradah
Yaitu isti’arah yang disebutkan tanda musyabbahnya.
Contoh:
ولَيْلَةٍ مَرِضَتْ من كُلِّ ناحِيَةٍ ...
فلا يُضيءُ لها نَجْمٌ ولا قَمَرُ
Artinya: dan malam yang sakit dari segala penjuru, maka bintang juga
bulan tidak meneranginya.
Kata (مَرِضَتْ) yang berarti sakit merupakan penyerupaan dari (ظلم) yang berarti gelap. Kata (ظلم) sebagai musyabbah diisyaratkan dengan kalimat (فلا يُضيءُ) yang berarti tidak menerangi.
c. Muthlaqah
Yaitu isti’arah yang tidak ada tanda musyabbah bih atau
musyabbahnya.
Contoh:
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاء حَمَلْنَاكُمْ
فِي الْجَارِيَةِ
Artinya: “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke
gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera.” (QS. Al-Haqqah: 11).
Kata (طَغَى) bermakna (زَادَ) dan setelahnya tidak ada tanda yang menjelaskan keduanya.
2. Majaz Mursal
Majaz mursal adalah suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna
aslinya karena adanya alaqah ghair musyabahah (hubungan bukan perumpamaan)
disertai qarinah (alasan/bukti) yang mencegahnya dari makna asli. Majaz mursal
berbeda dengan kinayah karena pada kalimat yang berbentuk kinayah tidak harus
ada qarinah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya. Dinamakan “mursal”
karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu.
a. As-Sababiyyah
Yaitu menyebutkan sebab dan yang dimaksud adalah
musabbab/akibat
لِفُلَانٍ عَلَيَّ
يَدٌ لَا أُنْكِرُهَا
Si fulan memiliki “tangan” terhadapku dan itu
tidak bisa kupungkiri.
Yang dimaksud tangan adalah jasa/budi.
b. Al-Musabbabiyyah
Yaitu menyebutkan akibat dan yang dimaksud adalah
sebab
وَيُنَزِّلُ لَكُمْ
مِّنَ السَّمَآءِ رِزْقًا
Dan Dia menurunkan untukmu “rezeki” dari langit.
(Ghafir: 13)
Yang dimaksud rezeki adalah hujan.
c. Al-Juz’iyyah
Yaitu menyebutkan sebagian dan yang dimaksud
adalah keseluruhan
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ
(Hendaklah) ia memerdekakan leher seorang hamba
sahaya yang beriman (An-Nisa: 92).
Yang dimaksud leher pada ayat di atas adalah
seluruh badan.
d. Al-Kulliyah
Yaitu menyebutkan keseluruhan dan yang dimaksud
adalah sebagian
جَعَلُوا
أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ
Mereka memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinganya
(Nuh: 7)
Yang dimaksud jari tersebut adalah hanya ujung
jari saja.
e. Al-Mahaliyyah
Yaitu menyebutkan tempat dan yang dimaksud adalah
hal
وَاسْأَلِ
الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
Tanyakan kepada desa yang tadi kita datangi!
(Yusuf: 82)
Yang disebutkan desa dan yang dimaksud adalah
penduduk desa.
f. Al-Haliyyah
Yaitu menyebutkan hal dan yang dimaksud adalah
tempat
إِنَّ الْأَبْرَارَ
لَفِيْ نَعِيْمٍ
Sesungghnya orang-orang yang
berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan (Al-Muthaffifin: 22).
Yang dimaksud dengan kenikmatan adalah surga.
g. ‘Itibar Ma Kana
Yaitu menyebutkan yang terjadi dan yang dimaksud
adalah yang akan datang
وَآَتُوا الْيَتَامَى
أَمْوَالَهُمْ
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka! (An-Nisa’: 2)
Yang disebutkan anak yatim dan yang dimaksud
ketika baligh.
h. ‘Itibar Ma Yakunu
Yaitu menyebutkan yang terjadi dan yang dimaksud
adalah sesuatu yang sebelumnya
وَدَخَلَ مَعَهُ
السِّجْنَ فَتَيَانِ قَالَ أَحَدُهُمَا إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْرًا
Dan bersama dengan dia masuk pula
ke dalam penjara dua orang pemuda. berkatalah salah seorang diantara keduanya:
"Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras arak” (Yūsuf: 36)
Yang dimaksud arak pada ayat di atas adalah anggur.
Artikel keren lainnya:
Saturday, November 14, 2020
Waqaf Tam, Kafi, Hasan, dan Qabih (Pengertian dan Contoh) | Ilmu Tajwid
Waqaf Tam, Kafi, Hasan, dan Qabih
Bila kita ingin pada
kata tertentu ketika membaca Al-Qur’an, maka berhenti tersebut dinamakan waqaf
ikhtiari (pilihan). Waqaf ikhtiari adalah waqaf
yang dilakukan secara sengaja dan direncanakan pada akhir kata tertentu.
Pembagian Waqaf |
Waqaf ikhtiari terbagi empat bagian:
1. Tam
(Sempurna)
Waqaf tam adalah
berhenti pada suatu kata yang sempurna maknanya dan tidak ada hubungannya
dengan kalimat/ayat berikutnya secara lafadz maupun makna. Kemudian ibtida’
dari kata setelah kata yang diwaqafkan.
Sebelumnya kita bahas
dulu yang dimaksud dengan “sempurna makna”. Pengertian sempurna makna adalah
suatu kalimat yang sudah utuh maknanya dan secara gramatikal kalau mubtada
sudah ada khabarnya, fi’il sudah ada fa’ilnya, jawab sudah ada syaratnya, dll.
Adapun yang
dimaksud hubungan secara lafadz adalah hubungan gramatikal/nahwu seperti
mubtda’ dengan khabar, fiil dan fail, dll. Adapun yang dimaksud hubungan secara makna adalah tema
dan konten dari ayat.
Contoh waqaf tam:
Al-Baqarah 5-6
...وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5) إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا...
Apabila kita waqaf di akhir ayat 5 dan ibtida’ di awal ayat 6 termasuk
tam. Kedua ayat ini tidak berhubungan secara lafadz dan makna karena ayat 5
berisi tentang orang yang bertaqwa dan ayat 6 berisi tentang orang kafir. Begitu pula secara gramatikal tidak
ada hubungannya.
2. Kafi
(Cukup)
Waqaf kafi adalah
berhenti pada suatu kata yang sempurna maknanya namun ada hubungannya dengan
kalimat/ayat berikutnya secara makna namun tidak secara lafadz. Kemudian
ibtida’ dari kata setelah kata yang diwaqafkan.
Contoh:
Al-Baqarah: 6-7
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
لَا يُؤْمِنُونَ (6) خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ...
Apabila kita waqaf di akhir ayat 6 dan ibtida’ di awal ayat 7 termasuk
kafi. Kedua ayat ini sama-sama membahas tentang kriteria orang kafir namun
secara gramatikal ayat 6 tidak berhubungan dengan ayat 7.
3. Hasan
(Baik)
Waqaf hasan adalah
berhenti pada suatu kata yang sempurna maknanya namun ada hubungannya dengan
kalimat/ayat berikutnya secara makna dan secara lafadz. Kemudian ibtida’ dari
kata setelah kata yang diwaqafkan.
Contoh:
Al-Fatihah 2-4
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)
Apabila kita waqaf di akhir tiga ayat di atas termasuk waqaf hasan. Ketiga ayat di
atas semua berisi sifat Allah swt dan ayat 3 dan 4 adalah naat/shifat dari kata
“Lillah”.
Contoh lainnya
Al-Humazah 1-2:
وَيْلٌ
لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (1) الَّذِي جَمَعَ مَالًا
وَعَدَّدَهُ (2)
Waqaf pada akhir ayat 1 surat
Al-Humazah termasuk hasan karena sudah sempurna makna dan karena ayat 2
merupakan penjelas ayat sebelumnya.
4. Qabih
(Buruk)
Waqaf qabih adalah berhenti
pada bacaan secara tidak sempurna maknanya dan tentunya masih ada hubungannya
secara lafadz dan makna dengan kata/kalimat berikutnya. Waqaf ini harus dihindari karena bisa
merusak makna dan maksud dari ayat tersebut. Kalau kita memahami bahasa Arab
tentunya akan mudah untuk menghindari waqaf ini. Bagi yang belum memahami
bahasa Arab hindari waqaf di huruf jar, mudhaf, fi’il yang belum ada failnya,
mubtada’, dll.
Contoh:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا
Bila kita berhenti di kata “La yastahyi” ini merupakan waqaf qabih
karena menyipati Allah dengan sifat tercela dan maknanya akan jelas bila
diwashalkan.
لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا
اكْتَسَبَتْ....
Contoh lainnya bila kita waqaf pada kata “illa” atau “laha”. Bila kita
waqaf di kedua kata tersebut akan menimbulkan kerancuan makna.
=======
Lalu bagaimana ada
kata yang tidak sempurna maknanya tapi ada di ujung ayat? Kalau berada ada di
ujung ayat, maka berhenti saja. Akan tetapi, kita harus melanjutkan ke kata
berikutnya. Artinya kita tidak boleh berhenti di kata yang tidak utuh maknanya
dan tanpa melanjutkan ke ayat berikutnya. Contoh:
فَوَيْلٌ
لِّلْمُصَلِّيْالَّذِيْنَ (4) هُمْ عَنْ
صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ (5)
Boleh berhenti di akhir ayat 4 karena ujung ayat walau belum utuh
maknanya. Namun, tidak boleh berhenti di ayat 4 tanpa melanjutkan bacaan ke
ayat berikutnya karena akan merusak makna.
=======
Sekian. Semoga bermanfaat!
Artikel keren lainnya:
Wednesday, November 4, 2020
Hikmah: Semua Orang Punya Jalan Masing-masing
Mari kita merenung dan bertafakur!
Perhatikan buah jambu ini....!
Tumbuh bersama di batang yang sama.
Tapi proses matangnya berbeda.
Jangan bandingkan prosesmu dengan proses orang lain.
Karena setiap orang memiliki prosesnya masing2.
Dan dimatangkan dengan bentuk berbeda-beda.
Jika rizki itu diukur dari kerja keras, maka kuli bangunanlah yang akan cepat kaya.
Jika rizki itu ditentukan dari waktu kerja, maka warung kopi 24 jam lah yang akan lebih mendapatkanya, bahkan mungkin mampu mengalahkah Starbuck, KFC dan Mc.DONALD
Jika rizki itu milik orang pintar, maka dosen dan guru yang bergelar panjang yang akan lebih kaya...
Jika rizki itu karena jabatan, maka presiden dan rajalah orang yang akan menduduki 100 orang terkaya di dunia...
Perhatikan hitungan ini :
1 + 9 = 10
7 + 3 = 10
5 + 5 = 10
Walau hitungan tersebut berbeda cara, tapi hasilnya tetap sama adil, bernilai 10.
Artinya...., untuk mencapai hasil nilai yang sama, tidak harus menggunakan cara yang sama.
Semoga menginspirasi.
Artikel keren lainnya:
Monday, November 2, 2020
Ilmu Bayan (Pengertian dan Pembagian) | Pengantar Balaghah
A. Pengertian Ilmu Bayan
Definisi ilmu bayan bisa ditinjau dari segi bahasa dan segi istilah.
1. Etimologi
Secara etimologi, kata al-Bayan (البيان) semakna dengan azh-zhuhūr (الظهور), al-kasyf (الكشف) dan al-idhah (الإيضاح) yang berarti menjelaskan atau menerangkan.
Sebagaimana disebutkan pada beberapa surat dalam al-Qur’an.
Di antaranya adalah firman Allah swt.:
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]:
187)
يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ
“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian….” (QS.
an-Nisā’ [4]: 26).
الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآَنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
“Ar-Rahmān, Yang mengajarkan al-Qur’an, Menciptakan manusia dan
mengajarkannya al-Bayan.” (QS. ar-Rahmān [55]: 1-4).
Al-Bayan disebutkan juga dalam Hadis pada beberapa tempat, di
antaranya:
Pertama, Sabda Rasulullah saw:
إِنَّ مِنَ البَيَانِ
لَسِحْرًا
“Sesungguhnya sebagian dari al-Bayan itu membuat orang tersihir
(terkesima/terhipnotis) dengan kata-kata.”
Dalam konteks ini al-Bayan berarti menyampaikan maksud dan tujuan
dengan menggunakan lafaz yang paling indah. Itu semua tentu melalui pemahaman
dan kecerdasan hati (spiritual).
Kedua, Sabda Rasulullah saw.:
البِذَاءُ وَالبَيَانُ
شُعْبَتَانِ مِنَ النِّفَاقِ
“Berkata yang kotor/jorok dan al-Bayan adalah cabang dari sifat
kemunafikan.”
Dalam konteks ini al-Bayan berarti bertindak berlebihan atau over
acting dalam berbicara. Biasanya itu muncul disebabkan perasaan ‘ujub (tindakan
agar dikagumi oleh orang yang melihatnya dan itu merupakan penyakit hati).
Pada kedua Hadis tersebut di atas, al-Bayan menunjukkan arti
menjelaskan dan menerangkan (al-kasyfu wa al-īdhāh).
2. Terminologi
Menurut terminologi, ilmu bayan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara mengungkapkan
bahasa dengan susunan kalimat yang beragam, di mana yang sebagian lebih jelas
penunjukan maknanya atau lebih berkesan dari yang lain. Jadi ilmu bayan adalah uslub mengungkapkan suatu maksud dengan
redaksi yang berbeda-beda. Ilmu bayan juga berkaitan dengan keindahan berbahasa
yang pengungkapannya menggunakan kata-kata indah dan mampu meninggalkan kesan
yang mendalam di hati pendengar atau pembaca.
Sekarang perhatikan 3 ungkapan berikut yang
menunjukkan seseorang yang mempunyai sifat dermawan!
هُوَ كالبَحْر فِي
الكَرَمِ
“Dia seperti lautan dalam
kemurahannya”
رَأَيْتُ بَحْرًا فِيْ
مَنْزِلِنَا
“Saya melihat lautan di
rumah kami”
هُوَ كَثِيرُ
الرَّمَادِ
“Dia banyak abunya”
Pola kalimat pertama menggunakan uslūb at-tasybīh,
yang kedua menggunakan uslūb al-majāz; dan ketiga menggunakan uslūb al-kināyah.
Pada kalimat pertama, pembicara atau penulis
menyerupakan seseorang dengan lautan dalam kemurahannya. Pada kalimat kedua,
pembicara atau penulis melihat lautan yang merupakan kata al-majāz (Isti‘ārah)
dari orang yang memiliki sifat pemurah. Pada kalimat ketiga, pembicara atau
penulis menyatakan seseorang banyak abunya yang merupakan kinayah dari sifat
pemurah. Seseorang memiliki banyak abu
di dapur karena banyak kayu bakar. Seseorang memiliki banyak kayu bakar karena
keseringan atau banyak yang dimasak. Seseorang yang banyak atau sering masak
karena banyaknya atau seringnya tamu yang bertandang (datang) ke rumahnya.
Orang yang seperti itu pasti memiliki sifat pemurah.
B. Topik Bahasan Ilmu Bayan
Ada 3 bahasan pokok dalam ilmu bayan, yaitu: At-Tasybīh
(التشبيه), Al-Majaz (المجاز), dan Al-Kinayah (الكناية).
Ilmu Bayan |
1. Tasybih
Tasybih adalah menjelaskan bahwa suatu perkara
bersekutu dengan yang lainnya dalam satu sifat atau lebih dengan menggunakan
perantara yaitu kaf (ك) dan sejenisnya baik secara tersurat
maupun tersirat. Contoh:
خَالِدٌ كَالْأَسَدِ
فِي الشَّجَاعَةِ
Artinya: "Khalid seperti singa dalam keberanian”.
الْعِلْمُ
كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ
Artinya: “Ilmu itu seperti
cahaya dalam hal memberi petunjuk.”
Dari contoh yang pertama didapati bahwa khalid diserupakan dengan
singa karena keduanya mempunyai sifat yang sama yaitu sama-sama berani.
Disyaratkan pula bahwa musyabbah bih itu lebih kuat daripada musyabbah.
Dalam susunan uslub tasybih, terdapat 4 rukun tasybih, yaitu:
a. Musyabbah (المـُشَبَّهُ) yaitu sesuatu yang diserupakan
b. Musyabbah bih (المـُشَبَّهُ بهِ) yaitu sesuatu yang diserupakan dengan
c. Adat tasybih (أَداةُ التَّشْبيهِ) alat atau perantara tasybih
d. Wajah syabah (وَجْهُ الشَّبَهِ) sifat yang menjadi letak kesamaan.
Rukun tasybih yang pertama dan kedua disebut denga tharaf (طَرَف) dan wajib dimunculkan dalam tasybih. Sedangkan rukun ketiga
dan keempat boleh dimunculkan atau dihilangkan.
Mari kita telaah kembali contoh tasybih yang kedua:
الْعِلْمُ
كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ
Dari contoh tersebut kata yang menjadi musyabbah
adalah kata (الْعِلْمُ), musyabbah bih adalah kata (النُّوْرِ), adat tasybihnya kata (ك), dan wajah syabahnya adalah kata (الْهِدَايَةِ).
Karena adat dan wajah boleh tidak disebutkan, maka
susunan berikut juga termasuk tasybih:
الْعِلْمُ نُوْرٌ
2. Majaz
Majaz adalah kata yang digunakan bukan pada makna
aslinya karena adanya hubungan (alaqah) dan alasan yang menghalangi untuk
difahami dengan makna aslinya atau makna kamus. Dalam ilmu bayan, majaz dibagi
menjadi dua, yaitu majaz aqli dan majaz lughawi.
a. Majaz Aqli
Majaz aqli adalah menyandarkan perbuatan
(aktivitas) kepada suatu atau benda yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah
ghair al-musyabahah (hubungan tidak adanya unsur kesamaan antara makna asli dan
makna yang mengalami perubahan) dan qarinah (susunan kalimat) yang mencegah
terjadinya penyandaran makna ke lafaz tersebut. Dinamakan
aqli, karena majaz jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya dengan menggunakan akal.
Contoh:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا
هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36)
أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ
كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ
وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (37)
Artinya: “Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman,
buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu,
(yaitu) pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya
Aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun
memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang
benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Ghafir [40]: 36-37).
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) membangun
gedung yang menjulang disandarkan kepada seorang bernama Haman padahal ia bukan
pelaku sebenarnya. Yang membangun itu adalah para pekerja, tetapi Haman
bertindak sebagai pengawas proses pembangunan itu.
b. Majaz Lughawi
Majaz lughawi adalah kata yang tidak difahami
dengan makna aslinya karena ada alaqah dan qarinah yang mencegah makna asli.
Dalam majaz lughawi, suatu makna difahami dengan makna lain karena unsur
kebahasaan. Majaz lughawi terbagi lagi menjadi istiarah dan majaz mursal.
● Istiarah
Istiarah adalah kata yang tidak difahami dengan
makna aslinya dan mulanya uslub tasybih yang dibuang salah satu tharafnya. Maka
alaqah atau hubungan makna asli dan makna yang dimaksud dalam istiarah adalah
musyabahah.
Contoh:
رَأَيْتُ بَحْرًا فِي
السُّوْقِ
Artinya: saya melihat “laut” itu di pasar.
Kata (بَحْرًا) pada contoh di atas tidak dimaknai sebagai hakikat melainkan
merujuk pada seseorang yang pemurah.
● Majaz Mursal
Majaz mursal adalah suatu lafaz yang dipergunakan
bukan pada makna aslinya karena adanya alaqah ghair musyabahah (hubungan bukan
perumpamaan) disertai qarinah (alasan/bukti) yang mencegahnya dari makna asli.
Majaz mursal berbeda dengan kinayah karena pada kalimat yang berbentuk kinayah
tidak harus ada qarinah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya. Dinamakan “mursal” karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu.
Contoh:
إِنَّ الْأَبْرَارَ
لَفِي نَعِيمٍ
Artinya:“Sesungghnya orang-orang yang berbakti itu benar-benar
berada dalam kenikmatan.” (QS. Al-Muthaffifin: 22)
Yang dimaksud dengan kenikmatan pada ayat tersebut adalah tempatnya kenikmatan
yaitu surga.
3. Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang disampaikan dan yang dimaksud adalah
kelaziman maknanya, disamping boleh juga yang dimaksud pada makna yang
sebenarnya. Simpelnya kinayah adalah
idiom.
Contoh:
عَلِيٌّ كَثِيْرُ الرَّمَادِ
Artinya: Ali mempunyai banyak abu.
Maksud dari ungkapan di atas adalah bahwa Ali
adalah orang yang dermawan. Orang Arab melazimkan bahwa
yang dermawan pasti suka menjamu orang dan tentunya sering masak di rumah.
Dahulu kala orang masak menggunakan kayu bakar sehingga menghasilkan hasil abu
yang banyak.
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Artinya: Dan (begitu pula) istrinya (istri Abu Lahab), pembawa kayu
bakar.
Pembawa kayu bakar diartikan penyebar fitnah. Istri Abu Lahab
disebut pembawa kayu bakar karena dia selalu menyebar-nyebarkan fitnah untuk memburuk-burukkan
nabi Muhammad saw. dan kaum Muslim.