Home · Tajwid · Sharaf · Nahwu · Balaghah · Do'a · Daftar Isi

Hikmah: Jagalah Pintu Surga (Berbakti Kepada Orang Tua)

JAGALAH PINTU SURGA

Seorang tabi'in yang mulia, Iyas bin Mu'awiyah rahimahullah, menangis sejadi-jadinya ketika salah satu dari orang tuanya meninggal dunia. Sehingga ditanyakan kepada beliau, " Mengapa Anda menangis sedemikian rupa ?"
Tidaklah aku menangis karena kematian karena yang hidup pasti mati. Akan tetapi, yang membuatku menangis karena dulu aku punya dua pintu ke surga, maka tertutuplah satu pintu pada hari ini dan tidak dibuka sampai hari kiamat. Aku mohon kepada Allah ta'ala agar aku bisa menjaga pintu yang kedua," jawab beliau.

Kedua orang tua adalah dua pintu menuju surga, yang kita dapat menikmati bau harumnya setiap pagi dan petang . Rasulullah saw. bersabda, 
(Berbakti kepada) orang tua adalah pintu surga yang paling tengah maka engkau pilih sia-siakan pintu itu atau menjaganya." ( H.R. At-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani).
Pintu surga yang paling tengah adalah pintu yang paling indah. Masihkan engkau sia-siakan pintu itu ? Bahkan, engkau haramkan dirimu untuk memasukinya dengan mengangkat suaramu di hadapannya? Dengan membentaknya di kala tulang-tulangnya semakin lemah karena dimakan usia? Sementara tubuhmu yang berotot kekar, dahulu telah dibasuh kotorannya dengan tangannya yang kini tak bertenaga. 
Rasulullah saw. bersabda,
"Celaka, celaka dan celaka.' sahabat bertanya, 'Siapa, ya Rasulullah?' 'Siapa yang mendapatkan kedua orang tuanya di masa tua, salah satunya atau keduanya, tetapi ia tidak masuk surga.'" (H.R. Muslim)
Berbahagialah yang masih memiliki orang tua. Berbuat baiklah pada mereka apa pun yang mereka lakukan padamu. Sebab tidak ada kebaikan yang sia-sia terlebih kepada orang yang melahirkan dan merawat kita. 

Semoga Allah mempermudah kita untuk lebih memuliakan orang tua kita. Aamiin yaa Rabbal 'aalamiin.

Artikel keren lainnya:

Kultum: Manfaatkan Subuhmu! Subuh itu Kejam

"KEJAMNYA WAKTU SUBUH"

Saudaraku...

Saya yakin di antara kita sudah mengetahui keistimewaan waktu Subuh.

Hari ini ada baiknya kita melihat waktu Subuh dgn kacamata yg lain, yaitu dari bahaya waktu Subuh bila kita tidak dapat memanfaatkannya.

Allah bersumpah dalam Al Fajr : “Demi fajar (waktu subuh)”.

Kemudian dalam Al-Falaq, Allah mengingatkan:

“Katakanlah! Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai waktu subuh”.

Ada apa di balik waktu Subuh? 

Mengapa Allah bersumpah demi waktu Subuh?

Mengapa harus berlindung kpd yang menguasai waktu Subuh?

Apakah waktu Subuh sangat berbahaya?

Ya, ternyata waktu Subuh benar-benar sangat berbahaya!

Waktu Subuh lebih kejam dari sekawanan perampok bersenjata api.

Waktu Subuh lebih menyengsarakan dari derita kemiskinan.

Jika ada sekawanan perampok menyatroni rumah kita, dan mengambil paksa semua barang kita: uang dan semua perhiasan emas digondolnya. Uang cash puluhan juta ditilepnya. Laptop, yang berisi data2 penting kita juga diembatnya. Eh, mobil yg belum lunas juga diembatnya dan rumah kita dibakarnya. 

Bagaimana rasa pedih hati kita menerima kenyataan ini?

Ketahuilah,!!

bahwa waktu Subuh lebih kejam dari perampok itu.  

Karena jika kita tergilas sang waktu Subuh sampai melalaikan shalat fajar, maka kita akan menderita kerugian lebih besar dari sekedar kehilangan seluruh harta kita.

Kita kehilangan dunia dan segala isinya. 

Ingat sabda Rasulullah : “Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya” (HR Muslim).

Waktu Subuh juga lebih menyengsarakan dari sekedar kemiskinan dunia.

Karena bagi orang2 yg tergilas waktu Subuh hingga mengabaikan shalat Subuh berjamaah di masjid, maka hakikatnya, merekalah orang2 miskin sejati yg hanya mendapatkan upah 1/150 (0,7%) saja pahala shalatnya.

“…dan barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka ia bagaikan shalat semalam suntuk”  (HR Muslim).

Shalat semalam suntuk adalah shalat yang dikerjakan mulai dari tenggelamnya matahari sampai terbit fajar. Fantastis!

Shalat selama sepuluh jam…, atau kurang lebih 150 kali shalat! Betapa agung fadhilah shalat Subuh berjamaah ini. Sebaliknya betapa malangnya orang yg tergilas waktu Subuh, orang2 yg mengabaikan shalat subuh berjamaah di masjid.

Waktu Subuh juga lebih berbahaya dari kobaran api yg disiram bensin. 

Mengapa demikian? Tahukah Anda bahwa Nabi Muhammad Shalallhu alaihi wassalam  menyetarakan dengan orang Munafik bagi yg tidak mampu melaksanakan shalat Subuh berjamaah di mesjid ?

Rasulullah bersabda:

 

“Sesungguhnya tiada yang dirasa berat oleh seorang Munafik, kecuali melaksanakan shalat Isya dan shalat Subuh berjamaah. Sekiranya mereka tahu akan keagungan pahalanya, niscaya mereka bakal mendatanginya (ke masjid, shalat berjamaah) sekalipun harus berjalan merangkak-rangkak” (HR Bukhari Muslim).

Agar tidak merasakan gilasan waktu Subuh yg lebih kejam dari perampokan, agar tidak terkena gilasan waktu Subuh yg lebih menyengsarakan dari derita kemiskinan, dan panasnya kobaran api, maka: “Katakanlah! Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai waktu subuh.” (Al Falaq:1).

Yaitu dengan bersegera memanfaatkan waktu Subuh sebaik-baiknya. Lakukan shalat sunnah qabliyah Shubuh (shalat fajar) dan shalat Shubuh berjamaah di masjid - bagi pria, di rumah - bagi wanita di awal waktu setelah azan berkumandang.

Ayo jadi pejuang shubuh...!!!

Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda,

 

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)

SEMOGA BERMANFAAT

Artikel keren lainnya:

Majaz (Aqli dan Lughawi) dalam Ilmu Balaghah

Majaz Dalam Ilmu Balaghah

Majaz adalah kata yang digunakan bukan pada makna aslinya karena adanya hubungan (alaqah) dan alasan yang menghalangi untuk difahami dengan makna aslinya atau makna kamus. Dalam ilmu bayan, majaz dibagi menjadi dua, yaitu majaz aqli dan majaz lughawi.

Majaz

A. Majaz Aqli

Majaz aqli adalah menyandarkan perbuatan (aktivitas) kepada suatu atau benda yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah ghair al-musyabahah (hubungan tidak adanya unsur kesamaan antara makna asli dan makna yang mengalami perubahan) dan qarinah (susunan kalimat) yang mencegah terjadinya penyandaran makna ke lafaz tersebut. Dinamakan aqli, karena majaz jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya  dengan menggunakan akal.

Berikut alaqah dan qarinah dalam majaz aqli:

1. As-sababiyyah

Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada penyebab langsung (pelaku).

Contoh:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ

Artinya: “Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu” (QS. Ghafir [40]: 37).

Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) membangun gedung yang menjulang disandarkan kepada seorang bernama Haman padahal ia bukan pelaku sebenarnya. Yang membangun itu adalah para pekerja, tetapi Haman bertindak sebagai pengawas proses pembangunan itu.

2. Az-zamaniyyah

Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada masa/waktu terjadinya.

Contohnya:

نَهَارُ الْـمُؤْمِنِ صَائِمٌ ولَيْلُهُ قَائِمٌ

Artinya: "Siangnya orang mukmin itu berpuasa dan malamnya bangun (untuk ibadah).”

Pada contoh ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) puasa disandarkan kepada masa/waktu yaitu “siang” padahal “siang” itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang melakukan puasa itu adalah seorang mukmin pada waktu siang hari.

3. Al-Makaniyyah

Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada tempat terjadinya.

Contohnya:

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا

Artinya: “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga adn yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya.” (Al-Bayyinah: 8).

Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) mengalir disandarkan kepada  sungai-sungai padahal sungai-sungai itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalir itu adalah air-air yang bertempat di sungai-sungai.

4. Al-Mashdariyyah

Yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada mashdarnya (kata dasar/asal).

Contohnya:

سَيَذْكُرُنِي قَوْمِيْ إِذَا جَدَّ جِدُّهُمْ # وَفِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ يُفْتَقَدُ البَدْرُ

Artinya: “Kaumku akan teringat kepadaku apabila mereka menghadapi kesulitan. Pada malam yang gelap bulan purnama baru dirindukan (dicari-cari)”

Pada syair ini disebutkan bahwa aktivitas menghadapi kesusahan disandarkan kepada mashdar (kata dasar) yaitu kata (جِدُّ) padahal mashdar itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalami kesusahan adalah orang-orang yang susah.

B. Majaz Lughawi

Majaz lughawi adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya karena ada alaqah dan qarinah yang mencegah makna asli. Dalam majaz lughawi, suatu makna difahami dengan makna lain karena unsur kebahasaan. Majaz lughawi terbagi lagi menjadi istiarah dan majaz mursal.

1. Istiarah

Istiarah adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya dan mulanya uslub tasybih yang dibuang salah satu tharafnya. Maka alaqah atau hubungan makna asli dan makna yang dimaksud dalam istiarah adalah musyabahah.

Dari segi qarinahnya, isti’arah dibagi menjadi tashrihiyyah dan makniyyah.

a. Isti’arah Tashrihiyyah

Isti’arah tashrihiyyah adalah isti’arah yang disiratkan dengan musyabbah bih.

Contoh:

 رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْفَصْلِ

Artinya: Saya melihat “singa” di kelas.

Pada contoh di atas, seorang yang pemberani (رَجُل شُجَاع) diserupakan dengan (أسدا) (singa), karena sama-sama memiliki sifat keberanian.

b. Isti’arah Makniyyah

Isti’arah makniyyah adalah kalimat yang musyabbah bihnya dibuang lalu disiratkan dengan sesuatu dari salah satu sifatnya.

Contoh:

  غَرَّدَ الشاعر بِقَصِيْدَة

Pada contoh pertama, penyair diserupakan dengan burung karena sama-sama bernyanyi yang disiratkan dengan kata (غَرَّدَ) yang artinya berkicau.

Dari segi kata pembentuknya, isti’arah dibagi menjadi ashliyyah dan taba’iyyah.

a. Isti’arah Ashliyyah

Isti’arah ashliyyah adalah apabila lafaz yang tempat berlangsungnya al-isti‘arah itu terbentuk dari isim jamid. Isti’arah ashliyyah qarinahnya tashrihiyyah.

Contoh:

رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْفَصْلِ

b. Isti’arah Taba’iyyah

Isti’arah taba’iyyah adalah lafaz yang tempat berlangsungnya al-isti‘arah itu terbentuk dari isim musytaq atau fi’il. Isti’arah taba’iyyah qarinahnya makniyyah.

Contoh:

وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا

Dari segi tanda, isti’arah dibagi menjadi murasysyahah, mujarradah, dan muthlaqah.

a. Murasysyahah

Yaitu isti’arah yang disebutkan tanda musyabbah bihnya.

Contoh:

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

Artinya: “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 16).

Yang menjadi isti’arah adalah kata (اشْتَرَوُا) yang berarti membeli dan yang dimaksudkan memilih. Kata tersebut ditandai dengan kata (فَمَا رَبِحَتْ) yang artinya tidak mendapat untung.

b. Mujarradah

Yaitu isti’arah yang disebutkan tanda musyabbahnya.

Contoh:

ولَيْلَةٍ مَرِضَتْ من كُلِّ ناحِيَةٍ ... فلا يُضيءُ لها نَجْمٌ ولا قَمَرُ

Artinya: dan malam yang sakit dari segala penjuru, maka bintang juga bulan tidak meneranginya.

Kata (مَرِضَتْ) yang berarti sakit merupakan penyerupaan dari (ظلم) yang berarti gelap. Kata (ظلم) sebagai musyabbah diisyaratkan dengan kalimat (فلا يُضيءُ) yang berarti tidak menerangi.

c. Muthlaqah

Yaitu isti’arah yang tidak ada tanda musyabbah bih atau musyabbahnya.

Contoh:

إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاء حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ

Artinya: “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera.” (QS. Al-Haqqah: 11).

Kata (طَغَى) bermakna (زَادَ) dan setelahnya tidak ada tanda yang menjelaskan keduanya.

2. Majaz Mursal

Majaz mursal adalah suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya karena adanya alaqah ghair musyabahah (hubungan bukan perumpamaan) disertai qarinah (alasan/bukti) yang mencegahnya dari makna asli. Majaz mursal berbeda dengan kinayah karena pada kalimat yang berbentuk kinayah tidak harus ada qarinah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya. Dinamakan “mursal” karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu.

a. As-Sababiyyah

Yaitu menyebutkan sebab dan yang dimaksud adalah musabbab/akibat

لِفُلَانٍ عَلَيَّ يَدٌ لَا أُنْكِرُهَا

Si fulan memiliki “tangan” terhadapku dan itu tidak bisa kupungkiri.

Yang dimaksud tangan adalah jasa/budi.

b. Al-Musabbabiyyah

Yaitu menyebutkan akibat dan yang dimaksud adalah sebab

وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِّنَ السَّمَآءِ رِزْقًا

Dan Dia menurunkan untukmu “rezeki” dari langit. (Ghafir: 13)

Yang dimaksud rezeki adalah hujan.

c. Al-Juz’iyyah

Yaitu menyebutkan sebagian dan yang dimaksud adalah keseluruhan

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

(Hendaklah) ia memerdekakan leher seorang hamba sahaya yang beriman (An-Nisa: 92).

Yang dimaksud leher pada ayat di atas adalah seluruh badan.

d. Al-Kulliyah

Yaitu menyebutkan keseluruhan dan yang dimaksud adalah sebagian

جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ

Mereka memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinganya (Nuh: 7)

Yang dimaksud jari tersebut adalah hanya ujung jari saja.

e. Al-Mahaliyyah

Yaitu menyebutkan tempat dan yang dimaksud adalah hal

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا

Tanyakan kepada desa yang tadi kita datangi! (Yusuf: 82)

Yang disebutkan desa dan yang dimaksud adalah penduduk desa.

f. Al-Haliyyah

Yaitu menyebutkan hal dan yang dimaksud adalah tempat

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ

Sesungghnya orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan (Al-Muthaffifin: 22).

Yang dimaksud dengan kenikmatan adalah surga.

g. ‘Itibar Ma Kana

Yaitu menyebutkan yang terjadi dan yang dimaksud adalah yang akan datang

وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka! (An-Nisa’: 2)

Yang disebutkan anak yatim dan yang dimaksud ketika baligh.

h. ‘Itibar Ma Yakunu

Yaitu menyebutkan yang terjadi dan yang dimaksud adalah sesuatu yang sebelumnya

وَدَخَلَ مَعَهُ السِّجْنَ فَتَيَانِ قَالَ أَحَدُهُمَا إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْرًا

Dan bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. berkatalah salah seorang diantara keduanya: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras arak (Yūsuf: 36)

Yang dimaksud arak pada ayat di atas adalah anggur.

Artikel keren lainnya:

Waqaf Tam, Kafi, Hasan, dan Qabih (Pengertian dan Contoh) | Ilmu Tajwid

Waqaf Tam, Kafi, Hasan, dan Qabih

Bila kita ingin pada kata tertentu ketika membaca Al-Qur’an, maka berhenti tersebut dinamakan waqaf ikhtiari (pilihan). Waqaf ikhtiari adalah waqaf yang dilakukan secara sengaja dan direncanakan pada akhir kata tertentu.

Pembagian Waqaf

Waqaf ikhtiari terbagi empat bagian:

1. Tam (Sempurna)

Waqaf tam adalah berhenti pada suatu kata yang sempurna maknanya dan tidak ada hubungannya dengan kalimat/ayat berikutnya secara lafadz maupun makna. Kemudian ibtida’ dari kata setelah kata yang diwaqafkan.

Sebelumnya kita bahas dulu yang dimaksud dengan “sempurna makna”. Pengertian sempurna makna adalah suatu kalimat yang sudah utuh maknanya dan secara gramatikal kalau mubtada sudah ada khabarnya, fi’il sudah ada fa’ilnya, jawab sudah ada syaratnya, dll.

Adapun yang dimaksud hubungan secara lafadz adalah hubungan gramatikal/nahwu seperti mubtda’ dengan khabar, fiil dan fail, dll. Adapun yang dimaksud hubungan secara makna adalah tema dan konten dari ayat.

Contoh waqaf tam:

Al-Baqarah 5-6

...وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5) إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا...

Apabila kita waqaf di akhir ayat 5 dan ibtida’ di awal ayat 6 termasuk tam. Kedua ayat ini tidak berhubungan secara lafadz dan makna karena ayat 5 berisi tentang orang yang bertaqwa dan ayat 6 berisi tentang orang kafir. Begitu pula secara gramatikal tidak ada hubungannya.

2. Kafi (Cukup)

Waqaf kafi adalah berhenti pada suatu kata yang sempurna maknanya namun ada hubungannya dengan kalimat/ayat berikutnya secara makna namun tidak secara lafadz. Kemudian ibtida’ dari kata setelah kata yang diwaqafkan.

Contoh:

Al-Baqarah: 6-7

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (6) خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ...

Apabila kita waqaf di akhir ayat 6 dan ibtida’ di awal ayat 7 termasuk kafi. Kedua ayat ini sama-sama membahas tentang kriteria orang kafir namun secara gramatikal ayat 6 tidak berhubungan dengan ayat 7.

3. Hasan (Baik)

Waqaf hasan adalah berhenti pada suatu kata yang sempurna maknanya namun ada hubungannya dengan kalimat/ayat berikutnya secara makna dan secara lafadz. Kemudian ibtida’ dari kata setelah kata yang diwaqafkan.

Contoh:

Al-Fatihah 2-4

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)

Apabila kita waqaf di akhir tiga ayat di atas termasuk waqaf hasan. Ketiga ayat di atas semua berisi sifat Allah swt dan ayat 3 dan 4 adalah naat/shifat dari kata “Lillah”.

Contoh lainnya Al-Humazah 1-2:

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (1) الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ (2)

Waqaf  pada akhir ayat 1 surat Al-Humazah termasuk hasan karena sudah sempurna makna dan karena ayat 2 merupakan penjelas ayat sebelumnya.

4. Qabih (Buruk)

Waqaf qabih adalah berhenti pada bacaan secara tidak sempurna maknanya dan tentunya masih ada hubungannya secara lafadz dan makna dengan kata/kalimat berikutnya. Waqaf ini harus dihindari karena bisa merusak makna dan maksud dari ayat tersebut. Kalau kita memahami bahasa Arab tentunya akan mudah untuk menghindari waqaf ini. Bagi yang belum memahami bahasa Arab hindari waqaf di huruf jar, mudhaf, fi’il yang belum ada failnya, mubtada’, dll.

Contoh:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا

Bila kita berhenti di kata “La yastahyi” ini merupakan waqaf qabih karena menyipati Allah dengan sifat tercela dan maknanya akan jelas bila diwashalkan.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ....

Contoh lainnya bila kita waqaf pada kata “illa” atau “laha”. Bila kita waqaf di kedua kata tersebut akan menimbulkan kerancuan makna.

=======

Lalu bagaimana ada kata yang tidak sempurna maknanya tapi ada di ujung ayat? Kalau berada ada di ujung ayat, maka berhenti saja. Akan tetapi, kita harus melanjutkan ke kata berikutnya. Artinya kita tidak boleh berhenti di kata yang tidak utuh maknanya dan tanpa melanjutkan ke ayat berikutnya. Contoh:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْالَّذِيْنَ  (4) هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ (5)

Boleh berhenti di akhir ayat 4 karena ujung ayat walau belum utuh maknanya. Namun, tidak boleh berhenti di ayat 4 tanpa melanjutkan bacaan ke ayat berikutnya karena akan merusak makna.

=======

Sekian. Semoga bermanfaat!

Artikel keren lainnya:

Hikmah: Semua Orang Punya Jalan Masing-masing

Mari kita merenung dan bertafakur!

Perhatikan buah jambu ini....!


Tumbuh bersama di batang yang sama.

Tapi proses matangnya berbeda.

Jangan bandingkan prosesmu dengan proses orang lain.

Karena setiap orang memiliki prosesnya masing2.

Dan dimatangkan dengan bentuk berbeda-beda.

Jika rizki itu diukur dari kerja keras, maka kuli bangunanlah yang akan cepat kaya.

Jika rizki itu ditentukan dari waktu kerja, maka warung kopi 24 jam lah yang akan lebih mendapatkanya, bahkan mungkin mampu mengalahkah Starbuck, KFC dan Mc.DONALD

Jika rizki itu milik orang pintar, maka dosen dan guru yang bergelar panjang yang akan lebih kaya...

Jika rizki itu karena jabatan, maka presiden dan rajalah orang yang akan menduduki  100 orang terkaya di dunia...

Perhatikan hitungan ini :

1 + 9 = 10

7 + 3 = 10

5 + 5 = 10

Walau hitungan tersebut berbeda cara, tapi hasilnya tetap sama adil, bernilai 10.

Artinya...., untuk mencapai hasil nilai yang sama, tidak harus menggunakan cara yang sama.

Semoga menginspirasi.

Artikel keren lainnya:

Ilmu Bayan (Pengertian dan Pembagian) | Pengantar Balaghah

A. Pengertian  Ilmu Bayan

Definisi ilmu bayan bisa ditinjau dari segi bahasa dan segi istilah.

1. Etimologi

Secara etimologi, kata al-Bayan (البيان) semakna dengan azh-zhuhūr (الظهور), al-kasyf (الكشف) dan al-idhah (الإيضاح) yang berarti menjelaskan atau menerangkan. Sebagaimana disebutkan pada beberapa surat dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah swt.:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa. (QS. al-Baqarah [2]: 187)

 يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ

“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian….” (QS. an-Nisā’ [4]: 26).

الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآَنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)

“Ar-Rahmān, Yang mengajarkan al-Qur’an, Menciptakan manusia dan mengajarkannya al-Bayan.” (QS. ar-Rahmān [55]: 1-4).

Al-Bayan disebutkan juga dalam Hadis pada beberapa tempat, di antaranya:

Pertama, Sabda Rasulullah saw:

إِنَّ مِنَ البَيَانِ لَسِحْرًا

“Sesungguhnya sebagian dari al-Bayan itu membuat orang tersihir (terkesima/terhipnotis) dengan kata-kata.”

Dalam konteks ini al-Bayan berarti menyampaikan maksud dan tujuan dengan menggunakan lafaz yang paling indah. Itu semua tentu melalui pemahaman dan kecerdasan hati (spiritual).

Kedua, Sabda Rasulullah saw.:

البِذَاءُ وَالبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنَ النِّفَاقِ

“Berkata yang kotor/jorok dan al-Bayan adalah cabang dari sifat kemunafikan.”

Dalam konteks ini al-Bayan berarti bertindak berlebihan atau over acting dalam berbicara. Biasanya itu muncul disebabkan perasaan ‘ujub (tindakan agar dikagumi oleh orang yang melihatnya dan itu merupakan penyakit hati).

Pada kedua Hadis tersebut di atas, al-Bayan menunjukkan arti menjelaskan dan menerangkan (al-kasyfu wa al-īdhāh).

2. Terminologi

Menurut terminologi, ilmu bayan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara mengungkapkan bahasa dengan susunan kalimat yang beragam, di mana yang sebagian lebih jelas penunjukan maknanya atau lebih berkesan dari yang lain. Jadi ilmu bayan adalah uslub mengungkapkan suatu maksud dengan redaksi yang berbeda-beda. Ilmu bayan juga berkaitan dengan keindahan berbahasa yang pengungkapannya menggunakan kata-kata indah dan mampu meninggalkan kesan yang mendalam di hati pendengar atau pembaca.

Sekarang perhatikan 3 ungkapan berikut yang menunjukkan seseorang yang mempunyai sifat dermawan!

هُوَ كالبَحْر فِي الكَرَمِ

Dia seperti lautan dalam kemurahannya

رَأَيْتُ بَحْرًا فِيْ مَنْزِلِنَا

Saya melihat lautan di rumah kami

هُوَ كَثِيرُ الرَّمَادِ

Dia banyak abunya

Pola kalimat pertama menggunakan uslūb at-tasybīh, yang kedua menggunakan uslūb al-majāz; dan ketiga menggunakan uslūb al-kināyah. Pada kalimat pertama, pembicara atau penulis menyerupakan seseorang dengan lautan dalam kemurahannya. Pada kalimat kedua, pembicara atau penulis melihat lautan yang merupakan kata al-majāz (Isti‘ārah) dari orang yang memiliki sifat pemurah. Pada kalimat ketiga, pembicara atau penulis menyatakan seseorang banyak abunya yang merupakan kinayah dari sifat pemurah.  Seseorang memiliki banyak abu di dapur karena banyak kayu bakar. Seseorang memiliki banyak kayu bakar karena keseringan atau banyak yang dimasak. Seseorang yang banyak atau sering masak karena banyaknya atau seringnya tamu yang bertandang (datang) ke rumahnya. Orang yang seperti itu pasti memiliki sifat pemurah.

B. Topik Bahasan Ilmu Bayan

Ada 3 bahasan pokok dalam ilmu bayan, yaitu: At-Tasybīh (التشبيه), Al-Majaz (المجاز), dan Al-Kinayah (الكناية).

Ilmu Bayan

1. Tasybih

Tasybih adalah menjelaskan bahwa suatu perkara bersekutu dengan yang lainnya dalam satu sifat atau lebih dengan menggunakan perantara yaitu kaf (ك) dan sejenisnya baik secara tersurat maupun tersirat. Contoh:

خَالِدٌ كَالْأَسَدِ فِي الشَّجَاعَةِ

Artinya: "Khalid seperti singa dalam keberanian”.

الْعِلْمُ كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ

Artinya: “Ilmu itu seperti cahaya dalam hal memberi petunjuk.”

Dari contoh yang pertama didapati bahwa khalid diserupakan dengan singa karena keduanya mempunyai sifat yang sama yaitu sama-sama berani. Disyaratkan pula bahwa musyabbah bih itu lebih kuat daripada musyabbah.

Dalam susunan uslub tasybih, terdapat 4 rukun tasybih, yaitu:

a. Musyabbah (المـُشَبَّهُ) yaitu sesuatu yang diserupakan

b. Musyabbah bih (المـُشَبَّهُ بهِ) yaitu sesuatu yang diserupakan dengan

c. Adat tasybih (أَداةُ التَّشْبيهِ) alat atau perantara tasybih

d. Wajah syabah (وَجْهُ الشَّبَهِ) sifat yang menjadi letak kesamaan.

Rukun tasybih yang pertama dan kedua disebut denga tharaf (طَرَف) dan wajib dimunculkan dalam tasybih. Sedangkan rukun ketiga dan keempat boleh dimunculkan atau dihilangkan.

Mari kita telaah kembali contoh tasybih yang kedua:

الْعِلْمُ كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ

Dari contoh tersebut kata yang menjadi musyabbah adalah kata (الْعِلْمُ), musyabbah bih adalah kata (النُّوْرِ), adat tasybihnya kata (ك), dan wajah syabahnya adalah kata (الْهِدَايَةِ).

Karena adat dan wajah boleh tidak disebutkan, maka susunan berikut juga termasuk tasybih:

الْعِلْمُ نُوْرٌ

2. Majaz

Majaz adalah kata yang digunakan bukan pada makna aslinya karena adanya hubungan (alaqah) dan alasan yang menghalangi untuk difahami dengan makna aslinya atau makna kamus. Dalam ilmu bayan, majaz dibagi menjadi dua, yaitu majaz aqli dan majaz lughawi.

a. Majaz Aqli

Majaz aqli adalah menyandarkan perbuatan (aktivitas) kepada suatu atau benda yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah ghair al-musyabahah (hubungan tidak adanya unsur kesamaan antara makna asli dan makna yang mengalami perubahan) dan qarinah (susunan kalimat) yang mencegah terjadinya penyandaran makna ke lafaz tersebut. Dinamakan aqli, karena majaz jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya  dengan menggunakan akal.

Contoh:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (37)

Artinya: “Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya Aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Ghafir [40]: 36-37).

Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) membangun gedung yang menjulang disandarkan kepada seorang bernama Haman padahal ia bukan pelaku sebenarnya. Yang membangun itu adalah para pekerja, tetapi Haman bertindak sebagai pengawas proses pembangunan itu.

b. Majaz Lughawi

Majaz lughawi adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya karena ada alaqah dan qarinah yang mencegah makna asli. Dalam majaz lughawi, suatu makna difahami dengan makna lain karena unsur kebahasaan. Majaz lughawi terbagi lagi menjadi istiarah dan majaz mursal.

● Istiarah

Istiarah adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya dan mulanya uslub tasybih yang dibuang salah satu tharafnya. Maka alaqah atau hubungan makna asli dan makna yang dimaksud dalam istiarah adalah musyabahah.

Contoh:

رَأَيْتُ بَحْرًا فِي السُّوْقِ

Artinya: saya melihat “laut” itu di pasar.

Kata (بَحْرًا) pada contoh di atas tidak dimaknai sebagai hakikat melainkan merujuk pada seseorang yang pemurah.

● Majaz Mursal

Majaz mursal adalah suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya karena adanya alaqah ghair musyabahah (hubungan bukan perumpamaan) disertai qarinah (alasan/bukti) yang mencegahnya dari makna asli. Majaz mursal berbeda dengan kinayah karena pada kalimat yang berbentuk kinayah tidak harus ada qarinah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya. Dinamakan “mursal” karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu.

Contoh:

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ

Artinya:“Sesungghnya orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan.” (QS. Al-Muthaffifin: 22)

Yang dimaksud dengan kenikmatan pada ayat tersebut adalah tempatnya kenikmatan yaitu surga.

3. Kinayah

Kinayah adalah lafadz yang disampaikan dan yang dimaksud adalah kelaziman maknanya, disamping boleh juga yang dimaksud pada makna yang sebenarnya. Simpelnya kinayah adalah idiom.

Contoh:

عَلِيٌّ كَثِيْرُ الرَّمَادِ

Artinya: Ali mempunyai banyak abu.

Maksud dari ungkapan di atas adalah bahwa Ali adalah orang yang dermawan. Orang Arab melazimkan bahwa yang dermawan pasti suka menjamu orang dan tentunya sering masak di rumah. Dahulu kala orang masak menggunakan kayu bakar sehingga menghasilkan hasil abu yang banyak.

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Artinya: Dan (begitu pula) istrinya (istri Abu Lahab), pembawa kayu bakar.

Pembawa kayu bakar diartikan penyebar fitnah. Istri Abu Lahab disebut pembawa kayu bakar karena dia selalu menyebar-nyebarkan fitnah untuk memburuk-burukkan nabi Muhammad saw. dan kaum Muslim.

Artikel keren lainnya: