Home · Tajwid · Sharaf · Nahwu · Balaghah · Do'a · Daftar Isi

Do'a Ketika Mengalami Mimpi Buruk

Do'a Ketika Mengalami Mimpi Buruk

Apabila kita mengalami mimpi buruk seperti mengalami bencana, dikejar makhluk menyeramkan, dll. Yakinilah bahwa mimpi buruk itu datangnya dari Syetan. Oleh karena, hendaknya kita memohon perlindungan kepada Allah agar kita tidak diganggu oleh Syetan ketika tidur.

Doa Mimpi Buruk

Doa ketika mimpi buruk

أَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ وَسَيِّئَاتِ اْلأَحْلاَمِ

Allahumma inni a’zubika min ‘amalis syaithoni wa sayyi-atil ahlam.

Artinya: “Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari perbuatan setan dan buruknya mimpi.”

Doa apabila bermimpi buruk:

هُوَ اللهُ، اَللهُ رَبِّيْ لَا شَرِيْكَ لَهُ. أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَمِنْ شَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ

Huwallahu, Allahu rabbi, la syarika lahu. A‘udzu bikalimatillahit tammati min ghadhabihi wa min syarri ibadihi wamin hamazatis syayatini wa an yahdhuruni.

Artinya: “Dialah Allah, Allah Tuhanku. Tiada sekutu bagi-Nya. Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan para hamba-Nya, dan godaan setan. Aku pun berlindung kepada-Nya dari kepungan setan itu.”

Bisa juga dengan membaca taawudz sebanyak 3 kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam sudah menerangkan dalam hadisnya bahwa mimpi buruk berasal dari setan. Berikut hadisnya:

“Mimpi yang baik itu dari Allah. Sedangkan mimpi yang buruk itu dari setan. Jika salah seorang dari kalian bermimpi yang tidak ia sukai, maka hendaknya ia meniup ke sebelah kirinya tiga kali dan membaca ta’awwudz sebanyak tiga kali. Kemudian setelah itu hendaknya ia membalik tubuhnya ke sisi yang lain, dengan demikian tidak ada lagi yang membahayakan dan jangan ceritakan kepada seorang pun mimpi tersebut.” (HR. Bukhari no. 6995, Muslim no. 2261).

Artikel keren lainnya:

Isim Mufrad (Pengertian, Contoh, dan Tanda Irabnya)

 A. Pengertian Isim Mufrad Dan Tanda Irabnya

Secara bahasa, isim mufrad bisa diartikan kata tunggal. Adapun secara istilah, isim mufrad didefinisikan:

مَا دَلَّ عَلَى وَاحِدٍ أَوْ وَاحِدَةٍ

Isim mufrad adalah kata yang menunjukkan makna tunggal baik untuk mudzakkar atau muannats.

Contoh:

إِنْسَانٌ – مَرْأَةٌ – كِتَابٌ – مَدْرَسَةٌ

Kata-kata di atas mengandung makna: (seorang) Manusia, (seorang) Perempuan, (satu) buku, dan (satu) sekolah.

Isim Mufrad

Isim juga didefinisikan:

مَا لَيْسَ مُثَنًّى وَلَا مَجْمُوْعًا وَلَا مُلْحَقًا بِهِمَا

Isim mufrad adalah isim yang tidak termasuk mutsanna atau isim jama’ dan tidak pula isim yang menerupai mutsanna dan jama’.

Tanda i’rab untuk isim mufrad adalah fathah ketika rafa’, fathah ketika nashab dan kasrah ketika khafadh.

Contoh:

هَذَا كِتَابٌ – إِنَّ الْكِتَابَ - مِنَ الْكِتَابِ

B. Contoh Isim Mufrad Di Al-Quran

Berikut contoh-contoh isim mufrad dalam keadaan marfu’:

Al-Ikhlas 1-4

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)

Kata (اللَّهُ) i’rabnya rafa’, tandanya dhammah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya mubtada.

Kata (أَحَدٌ) i’rabnya rafa’, tandanya dhammah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya khabar.

Kata (اللَّهُ) i’rabnya rafa’, tandanya dhammah, bentuknya isim mufard dan kedudukannya mubtada.

Kata (الصَّمَدُ) i’rabnya rafa’, tandanya dhammah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya khabar.

Kata (أَحَدٌ) i’rabnya rafa’, tandanya dhammah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya isim kana.

Berikut contoh-contoh isim mufrad dalam keadaan manshub:

Al-Kahfi 1-4

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2)

Kata (الْكِتَابَ) i’rabnya nashab, tandanya fathah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya sebagai maf’ul.

Kata (عِوَجًا) i’rabnya nashab, tandanya fathah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya sebagai maf’ul.

Kata (قَيِّمًا) i’rabnya nashab, tandanya fathah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya sebagai hal.

Kata (بَأْسًا) i’rabnya nashab, tandanya fathah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya sebagai maf’ul.

Kata (شَدِيدًا) i’rabnya nashab, tandanya fathah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya sebagai sifat.

Kata (أَجْرًا) i’rabnya nashab, tandanya fathah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya sebagai isim inna.

Kata (حَسَنًا) i’rabnya nashab, tandanya fathah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya sebagai sifat.

Berikut contoh-contoh isim mufrad dalam keadaan manshub:

Al-Fatihah: 3

ملِكِ يَوْمِ الدِّينِ (3)

Kata (ملِكِ) i’rabnya khafadh, tandanya kasrah, bentuknya isim mufrad. Kedudukannya sebagai sifat dan tabi’ ke kata (لِلَّهِ)

Kata (يَوْمِ) dan (الدِّينِ) i’rabnya khafadh, tandanya kasrah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya sebagai mudhaf ilaih.

Al-Baqarah: 4

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4)

Kata (قَبْلِ) dan (الْآَخِرَةِ) i’rabnya khafadh, tandanya kasrah, bentuknya isim mufrad dan kedudukannya sebagai majrur.

 

Artikel keren lainnya:

Adat Syarat Ghair Jazimah: Pengertian dan Contoh

Pengertian Adat Syarat Ghair Jazimah

Adat syarat ada dua macam, yaitu adat jazimah dan ghair jazimah. Nah yang jazimah sudah dibahas sebelumnya. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang adat syarat ghair jazimah.

Adat Syarat Ghair Jazimah

Yang dimaksud adat syarat jazimah adalah adat syarat baik huruf atau isim yang apabila syarat atau jawabnya fi’il mudhari tidak mengubahnya menjadi majzum atau beri’rab jazm. Adat yang tidak menjazmkan, yaitu:

1. Berupa huruf

لَوْ – لَوْ لَا – لَوْ مَا – أَمَّا

2. Berupa isim zharaf

إِذَا – لَمَّا – كُلَّمَا

Berikut penjelasan singkatnya:

1. (لَوْ)

Disebut huruf imtina’ limtina’ karena menjelaskan peniadaan “jawab”, karena tidak adanya “syarat”. Biasanya masuk ke fi’il madhi dan jawabnya bersambung dengan lam apabila fi’il madhi mutsbit (positif) dan tidak bersambung dengan lam apabila manfi (negatif).

Contoh:

لَوْ تَأَنَّى العَامِلُ مَا نَدِمَ

“Seandainya pekerja itu tidak tergesa-gesa, niscaya dia tidak menyesal.”

Contoh dari Al-Quran:

At-Taubah: 37

لَوْ خَرَجُوا فِيكُم مَّازَادُوكُمْ إِلاَّ خَبَالاً وَلأَوْضَعُوا خِلاَلَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ (9: 47)

2. (لَوْلاَ)

Digunakan untuk menjelaskan peniadaan “jawab”, karena adanya “syarat”. Setelah (لَوْلاَ) adalah isim marfu’ yang berkedudukan sebagai mubtada’ yang kahabrnya dibuang. Adapun ketentuan jawabnya sama dengan (لَوْ).

Contoh:

لَولَا الطَّبِيبُ لَسَاءَتْ حَالَةُ الْمَرِيضِ

“Seandainya tidak ada dokter niscaya keadaan orang sakit itu buruk.”

لَولَا الطَّبِيبُ مَا شُفِيَ الْمَرِيضُ

“Seandainya tidak ada dokter, niscaya orang sakit itu tidak sembuh.”

Contoh di Al-Quran:

Saba’: 31

يَقُولُ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لَوْلَا أَنْتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ

3. (لَوْمَا)

Penggunaan dan ketentuannya sama dengan (لَوْلاَ).

Contoh:

لَوْمَا الْعَمَلُ لَمْ تَكُنْ لِلْعِلْمِ فَائِدَةٌ

“Seandainya tidak ada amal, niscaya ilmu itu tidak ada faedahnya.”

4. (أَمَّا)

Digunakan sebagai tafshil dan taukid. Jawabnya selalu disertai fa’.

Contoh:

أَمَّا الْحَقُّ فَمُنْتَصِرٌ وَأَمَّا الْبَاطِلُ فَمُنْدَحِرٌ

“Adapun akan yang haq akan menang dan kebathilan akan kalah.”

Contoh dari Al-Quran:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

5. (إِذَا)

Digunakan untuk keterangan waktu yang akan datang.

Contoh:

إِذَا مَرِضْتَ فَاذْهَبْ إِلَى الطَّبِيْبِ

Ketika kamu sakit, pergilah ke dokter!

Contoh dari Al-Quran:

Al-Anfal: 2

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا

6. (لَمَّا)

Zharaf yang bermakna (حِيْنَ) yang artinya ketika atau tatkala. Jawabnya harus berupa fi’il madhi.

Contoh:

لَمَّا ذَهَبْتُ إِلَيهِ وَجَدْتُهُ مَرِيضًا

Ketika aku pergi menemuinya, aku dapati ia sedang sakit.

Contoh di Al-Quran:

Al-Qashash: 14

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى ءَاتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (28: 14)

7. (كُلَّماَ)

Berfungsi untuk pengulangan terjadinya “jawab” dan “syarat” sehingga diterjemahkan “setiap kali”. Syarat dan jawabnya berupa fi’il madhi.

Contoh:

كُلَّمَا جَآءَ أَحْمَدُ جَآءَ أَخُوْهُ

“setiap kali Ahmad datang, datang pula saudaranya”

Contoh di Al-Quran:

Al-Baqarah: 25

كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتُشَابِهًا (2: 25)

========

Sekian dan demikian pembahasan adat syarat ghari jazimah. Semoga bermanfaat!

Artikel keren lainnya:

Uslun An-Nahyi (Shighat dan Maknanya) | Ilmu Balaghah

 A. Pengertian Uslub An-Nahyi

An-Nahyu adalah meminta (menuntut) penghentian suatu perbuatan dari orang yang lebih tinggi kedudukannya (posisinya) kepada orang yang lebih rendah. Dikenal juga dengan nama larangan. An-Nahyu merupakan antonim dari al-amr.

Nahyu

Uslub an-nahyi adalah shighat fi’il mudhari yang diawali dengan la nahiyah. Berikut shighatnya:

Fiil Nahyi

Fi’il Mudhari

Dhamir

لَا تَفْعَلْ

تَفْعَلُ

أَنْتَ

لَا تَفْعَلَا

تَفْعَلَانِ

أَنْتُمَا

لَا تَفْعَلُوْا

تَفْعَلُوْنَ

أَنْتُمْ

لَا تَفْعَلِيْ

تَفْعَلِيْنَ

أَنْتِ

لَا تَفْعَلَا

تَفْعَلَانِ

أَنْتُمَا

لَا تَفْعَلْنَ

تَفْعَلْنَ

أَنْتُنَّ

Contohnya sebagaimana firman Allah:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الَارْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya….”  (QS. Al-A‘rāf [7]: 56)

B. Makna-makna an-Nahyu

An-Nahyu terkadang keluar dari maknanya yang asli kepada makna-makna lain. Hal ini dapat diketahui dengan mengkaji konteks dan redaksi suatu kalimat. Di antara makna-makna yang dimaksud adalah:

Al-Irsyad (memberi petunjuk)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu….”  (QS. Al-Mā’idah [5]: 101)

Ad-Du’a (memohon)

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

 “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah….” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Al-Iltimas (memohon dengan penuh)

يَا أَخِيْ لَا تَزُرْنِيْ لَيْلاً

“Wahai saudaraku, janganlah engkau mengunjungiku pada malam hari”

At-Tamanni (mengharap sesuatu yang mustahil terjadi).

يَا لَيْلُ طَلَّ يَا نَوْمُ زَلَّ  #  يَا صُبْحُ قِفْ وَلَا تَطْلُعِيْ

Duhai malam yang panjang, munculkanlah #  sinar subuhmu, karena tidak ada yang menyerupai sinar subuhmu ini.

At-Tai’is (mengungkapkan rasa penyesalan)

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

 “Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman….”  (QS. At-Taubah [9]: 66)

At-Taubikh (menjelekkan)

لَا تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِ مِثْلَهُ

Jangan engkau melarang seseorang berbuat jelek sementara engkau melakukannya.

● At-Tahdid (mengancam)

لَا تُطِعْ أَمْرِيْ

“Jangan engkau patuhi perintahku.”

Al-Karahah (membenci)

لَا تَلْتَفِتْ وَأَنْتَ فِي الصَّلَاةِ

Jangan engkau menengok dalam keadaan sholat.”

Al-I’tinas (menghibur)

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

 “…Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita….” (QS. At-Taubah [9]: 40)

At-Tahqir (menghina)

لَا تَطْلُبِ الْمَجْدَ إِنَّ الْمَجْدَ سُلَمُهُ  # صَعْبٌ وَعِشْ مُسْتَرِيْحًا نَاعِمَ البَالِ

Janganlah kalian mencari keutamaan, sesungguhnya keutamaan itu tangganya # sulit. Hiduplah dengan tenang dan hati yang damai.

Ad-Dawām (perbuatan yang terus menerus)

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ

 “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim….” (QS. Ibrāhīm [14]: 42)

Bayān al-Āqibah (menjelaskan akibat)

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.”  (QS. Āli ‘Imrān [3]: 169)

Artikel keren lainnya:

Kaidah Mengakhirkan Mubtada’ Dan Mendahulukan Khabar

 Kaidah Mengakhirkan Mubtada’ Dan Mendahulukan Khabar

Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada dasarnya jumlah ismiyyah terdiri dari mubtada’ dan khabar dan posisi mubtada terlebih dahulu. Namun, pada keadaan tertentu posisi tersebut bisa dibalik yang mana khabar berada di awal kemudian khabar.

Mubtada Khabar

Berikut beberapa kaidah dalam mendahulukan khabar dan mengakhirkan mubtada’:

1. Boleh Mendahulukan Khabar Dan Mengakhirkan Mubtada’

Boleh mendahulukan khabar dan mengakhirkan mubtada’ apabila:

• Hendak menonjolkan makna khabar. Contoh:

مَمنُوعٌ التَّدْخِينُ

• Mubtada` dan khabar didahului oleh huruf nafi atau istifham dan khabarnya berupa sifat. Contoh:

أَقَائِمٌ أَنْتَ؟

• Khabar berupa syibhu jumlah dan mubtada`nya ma`rifah. Contoh:

فِي التَّعَنِّي السَّلَامَةُ

Khabar berupa isim nakirah yang disifati. Contoh:

عِنْدَنَا رَجُلٌ كَرِيمٌ

2. Wajib Mendahulukan Khabar Dan Mengakhirkan Mubtada’

Harus mendahulukan khabar daripada mubtada’ apabila:

• Mubtada’ berupa isim nakirah ghair mufidah dan kahabrnya dzaraf atau jar-majrur. Contoh:

فِى الْبَيْتِ رَجُلٌ

• Khabar berupa isim istifham atau diidlafahkan pada isim istifham. Contoh:

كَيْفَ حَالُكَ؟

• Ada dhamir pada mutada’ yang kembali kepada khabar. Contoh:

فِي الدَّارِ صَاحِبُهَا

• Khabar diringkas dalam mubtada’, yaitu ketika mubtada’ bersamaan dengan (اِلاَّ) atau (إِنَّمَا). Contoh:

مَا خَالِقٌ اِلاَّ اللهُ

3. Wajib Mendahulukan Mubtada’,

Posisi mubtada’ dan kahabr tidak boleh berganti dengan ketentuan:

• Khabar mahshuran, yaitu mengkhususkan mubtada’ kepada makna khabar dengan lafadz (إِلَّا) atau (إِنَّمَا). Contoh:

مَا أَنَا إِلَّا طَالِبٌ

إِنَّمَا أَنَا طَالِبٌ

• Mubtada’ berasal dari isim yang harus di depan kalimat. Isim yang harus di depan kalimat adalah: isim itifham, isim syarat dan (مَا) ta’ajjub. Contoh:

مَنْ أَفْضَلُ الطُّلّابِ؟

• Khabar berupa jumlah yang ada dhamir yang kembali ke mubtada’. Contoh:

مُحَمَّدٌ جَاءَ

• Mubtada’ dibarengi dengan lam taukid. Contoh:

لَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ

• Jika masing-masing dari mubtada’ dan khabar berupa isim ma’rifat atau isim nakirah, dan disitu tidak terdapat qarinah yang mewajibkan pada salah satunya, sehingga mubtada’ didahulukan karena mengkhawatirkan terjadinya kesamaran musnad dengan musnad ilaih. Contoh:

بَيْتِيْ جَنَّتِيْ

Sekian dan demikian. Semoga berkah ilmunya. Amin.

Artikel keren lainnya: