Home · Tajwid · Sharaf · Nahwu · Balaghah · Do'a · Daftar Isi

Do'a Naik Kendaraan Darat dan Laut Lengkap dengan Latin dan Terjemah

Ketika bepergian dengan kendaraan, alangkah baiknya kita berdo’a kepada Allah SWT agar kita diberi keselamatan di perjalanan. Berdo’a juga merupakan bentuk berserah diri kepada Sang Khaliq atas apa yang menimpa kepada kita.

Doa Naik Kendaraan

Berikut adalah do'a yang dibaca apabila naik kendaraan, baik kendaraan darat, laut, maupun udara.

Do’a Naik Kendaraan

سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ

“Subhanal ladzi sakhkhara lana hadza wa ma kunna lahu muqrinin, wa inna ila rabbina lamunqalibun.”

Artinya:

“Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesung-guhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat).”

Do’a Naik Kapal Laut

بِسْمِ اللهِ مَجْرَىهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Bismillahi majreha wamutsaha inna rabbi laghafurur rahim”

Artinya:

“Dengan nama Allah yang menjalankan kendaraan ini berlayar dan berlabuh, sesungguhnya Tuhanku Maha Pemaaf lagi Maha Pengasih.”

=========

Jangan untuk selalu berdo'a ketika berkendara menggunakan moda apapun.

Semoga bermanfaat.

Artikel keren lainnya:

Do'a Ketika Ada Musibah, Bahaya, dan Bencana Lengkap Dengan Latin dan Terjemah

Do'a Ketika Ada Bencana

Ketika terjadi suatu musibah atau dihadapkan dengan suatu bahaya, sebagai insan lemah, kita hendaknya berdo'a kepada sang khalik agar kita bisa tegar dan menjadikan musibah yang melanda sebagai media agar kita diampuni dan diberikan pahala yang besar.

Doa Ketika Musibah

Berikut ada beberapa redaksi do'a ketika terjadi musibah.

● Do’a Ketika Mendapat Musibah

إنّاَ لِلّهِ وإنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ أجِرْنِي فِي مُصِيْبَتِيْ وأَخْلِفْ لِي خَيْراً مِنْهَا

“Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘un. Allâhumma ajurnî fî mushîbatî wa akhlif lî khairan minhâ.”

Artinya:

“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sungguh hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, karuniakanlah padaku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya”

Do’a Agar Mendapat Ganti Lebih Baik Saat Musibah Terjadi

إنَّا لِلّهِ وإنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اَللّهُمَّ عِنْدَكَ أَحْتَسِبُ مُصِيْبَتِيْ فَأَجِرْنِيْ فِيْهَا وَأَبْدِلْنِيْ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا

“Inna lillahi wa inna ilahi raji‘un. Allahumma 'indaka ahtasibu mushibati, fa'ajirni fiha, wa abdilni biha khoiram minha.”

Artinya,

"Kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, aku gantungkan (pahala) musibahku. Berikanlah aku pahala dan gantikan dengan nikmat yang lebih baik sebab musibah itu."

Do’a Agar Diselamatkan dari Bencana, Musibah dan Bahaya

 اللهمَّ إنِّي أعُوذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ

“Allahumma inni audzu bika min jahdil balai, wadarkisy syiqai, wasuil qadhai, wasyamatatil ‘adai.”

Artinya,

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari susahnya bala’, hinanya kesengsaraan, keburukan qadha’, dan kegembiraan para musuh.”

Do’a Mohon Kesabaran dan Keteguhan Hati

رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ

“Rabbanaa afrigh alainaa shabra wa tsabbit aqdamanaa wanshurna ‘alal qaumil kaafirin.”

Artinya:
"Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolong lah kami terhadap orang-orang kafir."

Do’a Ketika Melihat Orang Yang Tertimpa Musibah

اَلْحَمْدُ لِلهِ الِّذِي عَافَانِي مِمّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفضِيلًا

"Alhamdulillahilladzii ‘aafaanii mimmab talaaka bihi wa fadhdholanii ‘ala katsiirimmimman kholaqo tafdhiilaa"

Artinya:

“Segala puji hanya milik Allah yang telah membebaskanku dari apa yang Ia uji engkau dengannya dan yang benar-benar telah mengaruniaiku keutamaan dibanding banyak dari makhluk-Nya.”

Do’a Mohon Kelapangan Hati Dan Ketabahan

اَللّهُمَّ رَضِّنِيْ بِقَضَائِكَ، وَصَبِّرْنِيْ عَلَى بَلَائِكَ، وَأَوْزِعْنِيْ شُكْرَ نِعَمَائِكَ

“Allahumma radldlini bi qadlaika wa shobbirni 'ala balaika wa awzi'ni syukra ni'amaika.”

Artinya,

"Ya Allah, jadikan aku ridha dalam menerima qadha (ketentuan)-Mu, dan jadikan aku sabar dalam menerima bala dari-Mu, dan tunjukilah aku untuk mensyukuri semua nikmat-nikmat-Mu."

Doa Agar Dibimbing Allah

اَللّهُمَّ لَا تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ وَلَا تَنْزِعْ مِنِّيْ صَالِحَ مَا أَعْطَيْتَنِيْ

“Allahumma la takilni ila nafsi thorfata 'ainin, wa la tanzi' minni shaliha ma a'thaitani.”

Artinya:

"Ya Allah, jangan Engkau bebankan (permasalahan) kepadaku seorang diri sekalipun sebentar. Jangan Engkau ambil hal baik dariku yang telah Engkau berikan padaku."

Do’a Agar Terhindar Bahaya

أَعُوْذَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّآمَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ.

“Audzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq.”

Artinya,

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya.”

Do’a Terhindar dari Musibah dan Bencana

بِسْمِ اللَّهِ الَذِيْ لاَيَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْئٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَآءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.

“Bismillahil ladzi la yadhurru ma’asmihi syaiun fil ardhi wala fi sama’i, wahuwas sami’ul ‘alim.”

Artinya,

“Dengan nama Allah yang bersama nama-Nya tidak ada sesuatu di bumi dan di langit yang bisa membahayakan. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Artikel keren lainnya:

Pembahasan Uslub Al-Hakim (أُسْلُوْبُ اْلَحَكْيْمِ) Dalam Balaghah

 A. Pengertian Uslub Al-Hakim (أُسْلُوْبُ اْلَحَكْيْمِ)

Uslub Al-Hakim secara bahasa gaya orang bijaksana. Ali al-Jarim dan Musthafa Amin mendefinisikan uslub al-hakim dengan makna yang terkandung pada kata-kata yang terangkai sedemikian rupa sehingga lebih cepat mencapai sasaran kalimat yang dikehendaki dan lebih menyentuh jiwa para pendengarnya.

Jadi uslub al-hakim adalah gaya bahasa yang disampaikan oleh seseorang dalam memberikan jawaban terhadap sebuah persoalan dengan jawaban yang keluar dari pada persoalan tersebut. Hal ini dimaksudkan karena mutakallim ingin agar mukhathab teralih perhatiannya dan seyogyanya lebih memperhatikan masalah yang lain.

Uslub Al Hakim

Dengan demikian, tujuan dari uslub al-hakim diantaranya:

1. Untuk memberikan penjelasan yang lebih bermanfaat.

2. Untuk memperindah suatu ungkapan atau jawaban.

3. Untuk melihat dan lebih dekat dengan pembahasan ilmu badi’.

B. Contoh Uslub Al-Hakim

Al-Baqarah: 189

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS. Al- Baqarah: 189).

Yang ditanyakan adalah tentang bentuk bulan sabit di langit yang setiap malamnya berubah-ubah dimana untuk memahami jawabannya harus menguasai ilmu pengetahuan yang pada waktu itu belum berkembang. Oleh karena itu, jawabannya dialihkan pada manfaat bulan sabit sebagai penunjuk waktu.

Al-Baqarah: 215

 يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ

Artinya: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." (QS. Al-Baqarah: 215).

Yang ditanyakan adalah macam harta yang bagus untuk dinafkahkan. Tetapi jawabannya tentang siapa saja yang perlu diberi nafkah. Ini isyarat bahwa Allah swt ingin agar kita lebih fokus memberi nafkah daripada bentuk hartanya.

Asy-Syuara: 23-24

قَالَ فرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمينَ. قَالَ رَب السَّمَاوَات وَالْأَرْض وَمَا بَيْنَهُمَا إنْ كُنْتُمْ مُوقنينَ

Artinya: “Fir´aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya". (QS. Asy-Syu`ara: 23-24).

Dalam ayat ini Fir'aun menanyakan tentang esensi Tuhan semesta alam kepada Nabi Musa AS, akan tetapi Nabi Musa AS menjawab dengan sifat-Nya menggunakan uslub al-hakim sebagai isyarat bahwa mencari tahu esensi dari Allah adalah kemustahilan karena tak akan bisa dijangkau oleh akal manusia.

Contoh lainnya

قيل لشيخ هرم: كم سنك؟ فقال: إني أنعم بالعفية.

Artinya: “Seorang kakek tua ditanya, “Berapa usiamu?” Lalu ia menjawab, “Aku merasa senang bisa sehat.”

Pada contoh di atas, si penanya bertanya kepada kakek itu tentang usianya dan kakek tua itu memberikan jawaban dengan hal yang tidak diharapkan oleh si penanya, malahan ia memberikan jawaban lain yang berhubungan dengan kesehatannya. Seolah-olah kakek itu mengingatkan bahwa masalah yang terpenting baginya bukan jumlah usia, tetapi kesehatan yang dapat membuatnya bahagia.

C. Rahasia Balaghah Uslub al-Hakim

Untuk menelisik keindahan uslub ini kita harus mengetahui tujuan-tujuan balaghi dari uslub ini dan efek yang ditinggalkan oleh uslub ini:

Uslub ini menjadi sarana untuk merenung dan berfikir, karena jawaban dari yang ditanya akan berbeda dari yang ditanyakan tergantung sudut pandang yang diinginkan.

Mengandung pesan yang dalam untuk mukhathab dengan memikirkan antara pertanyaan dan jawaban, sehingga jika mukhathab dalam keadaan yang salah akan tersadar akan hal itu.

Untuk menguatkan faedah atau pesan yang disampaikan mutakallim.

Bisa melunakkan hati seseorang.

Sangat bermanfaat dalam bidang dakwah dan pembelajaran serta pendidikan, ketika seorang da'i bisa menyampaikan maksudnya dengan uslub yang luar biasa dengan memalingkan mukhathab kepada makna yang diinginkannya tanpa disadari oleh mukhathab karena ia sudah terlanjur dipikat oleh informasi yang lebih penting baginya.

Sekian pembahasan uslubul hakim yang merupakan bagian dari ilmu badi’. Semoga dapat difahami dengan mudah. Amin.

Ilmu Balaghah – Ilmu Badi’ – Muhassinat Ma’nawiyyah – Uslubul Hakim

Artikel keren lainnya:

Ringkasan Ilmu Balaghah (Bayan, Ma'ani dan Badi')

 ILMU BALAGHAH

Balaghah bisa diartikan menggapai tujuan dan tutur kata yang baik. Secara istilah, balaghah adalah menyampaikan makna yang luhur secara jelas dengan menggunakan ungkapan yang shahih dan fashih. Secara jelas maksudnya pembicara menyampaikan suatu ungkapan dengan lugas sehingga mudah difahami dan tidak salah faham. Adapun yang dimaksud shahih adalah sesuai dengan kaidah sharaf dan nahwu. Sedangkan fashih adalah ungkapan itu harus tersusun dari kata-kata yang mengandung maksud yang dikehendaki oleh pembicara.

Dalam ilmu balaghah, ada 3 cabang atau subdisplin ilmu, yaitu ilmu bayan, ilmu ma’ani, dan ilmu badi’.

Ilmu Balaghah

● ILMU BAYAN

A. Pengertian  Ilmu Bayan

1. Etimologi

Secara etimologi, kata al-Bayan (البيان) semakna dengan azh-zhuhūr (الظهور), al-kasyf (الكشف) dan al-idhah (الإيضاح) yang berarti menjelaskan atau menerangkan. Sebagaimana disebutkan pada beberapa surat dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah swt.:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

 Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa. (QS. al-Baqarah [2]: 187)

 يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ

“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian….” (QS. an-Nisā’ [4]: 26).

الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآَنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)

“Ar-Rahmān, Yang mengajarkan al-Qur’an, Menciptakan manusia dan mengajarkannya al-Bayan.” (QS. ar-Rahmān [55]: 1-4).

Al-Bayan disebutkan juga dalam Hadis pada beberapa tempat, di antaranya:

Pertama, Sabda Rasulullah saw:

إِنَّ مِنَ البَيَانِ لَسِحْرًا

“Sesungguhnya sebagian dari al-Bayan itu membuat orang tersihir (terkesima/terhipnotis) dengan kata-kata.”

Dalam konteks ini al-Bayan berarti menyampaikan maksud dan tujuan dengan menggunakan lafaz yang paling indah. Itu semua tentu melalui pemahaman dan kecerdasan hati (spiritual).

Kedua, Sabda Rasulullah saw.:

البِذَاءُ وَالبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنَ النِّفَاقِ

“Berkata yang kotor/jorok dan al-Bayan adalah cabang dari sifat kemunafikan.”

Dalam konteks ini al-Bayan berarti bertindak berlebihan atau over acting dalam berbicara. Biasanya itu muncul disebabkan perasaan ‘ujub (tindakan agar dikagumi oleh orang yang melihatnya dan itu merupakan penyakit hati).

Pada kedua Hadis tersebut di atas, al-Bayan menunjukkan arti menjelaskan dan menerangkan (al-kasyfu wa al-īdhāh).

2. Terminologi

Menurut terminologi, ilmu bayan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara mengungkapkan bahasa dengan susunan kalimat yang beragam, di mana yang sebagian lebih jelas penunjukan maknanya atau lebih berkesan dari yang lain. Jadi ilmu bayan adalah uslub mengungkapkan suatu maksud dengan redaksi yang berbeda-beda. Ilmu bayan juga berkaitan dengan keindahan berbahasa yang pengungkapannya menggunakan kata-kata indah dan mampu meninggalkan kesan yang mendalam di hati pendengar atau pembaca.

Sekarang perhatikan 3 ungkapan berikut yang menunjukkan seseorang yang mempunyai sifat dermawan!

هُوَ كالبَحْر فِي الكَرَمِ

Dia seperti lautan dalam kemurahannya

رَأَيْتُ بَحْرًا فِيْ مَنْزِلِنَا

Saya melihat lautan di rumah kami

هُوَ كَثِيرُ الرَّمَادِ

Dia banyak abunya

Pola kalimat pertama menggunakan uslūb at-tasybīh, yang kedua menggunakan uslūb al-majāz; dan ketiga menggunakan uslūb al-kināyah. Pada kalimat pertama, pembicara atau penulis menyerupakan seseorang dengan lautan dalam kemurahannya. Pada kalimat kedua, pembicara atau penulis melihat lautan yang merupakan kata al-majāz (Isti‘ārah) dari orang yang memiliki sifat pemurah. Pada kalimat ketiga, pembicara atau penulis menyatakan seseorang banyak abunya yang merupakan kinayah dari sifat pemurah.  Seseorang memiliki banyak abu di dapur karena banyak kayu bakar. Seseorang memiliki banyak kayu bakar karena keseringan atau banyak yang dimasak. Seseorang yang banyak atau sering masak karena banyaknya atau seringnya tamu yang bertandang (datang) ke rumahnya. Orang yang seperti itu pasti memiliki sifat pemurah.

B. Topik Bahasan Ilmu Bayan

Ada 3 bahasan pokok dalam ilmu bayan, yaitu: At-Tasybīh (التشبيه), Al-Majaz (المجاز), dan Al-Kinayah (الكناية).

1. Tasybih

Tasybih adalah menjelaskan bahwa suatu perkara bersekutu dengan yang lainnya dalam satu sifat atau lebih dengan menggunakan perantara yaitu kaf (ك) dan sejenisnya baik secara tersurat maupun tersirat. Contoh:

خَالِدٌ كَالْأَسَدِ فِي الشَّجَاعَةِ

Artinya: "Khalid seperti singa dalam keberanian”.

الْعِلْمُ كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ

Artinya: “Ilmu itu seperti cahaya dalam hal memberi petunjuk.”

Dari contoh yang pertama didapati bahwa khalid diserupakan dengan singa karena keduanya mempunyai sifat yang sama yaitu sama-sama berani. Disyaratkan pula bahwa musyabbah bih itu lebih kuat daripada musyabbah.

Dalam susunan uslub tasybih, terdapat 4 rukun tasybih, yaitu:

a. Musyabbah (المـُشَبَّهُ) yaitu sesuatu yang diserupakan

b. Musyabbah bih (المـُشَبَّهُ بهِ) yaitu sesuatu yang diserupakan dengan

c. Adat tasybih (أَداةُ التَّشْبيهِ) alat atau perantara tasybih

d. Wajah syabah (وَجْهُ الشَّبَهِ) sifat yang menjadi letak kesamaan.

Rukun tasybih yang pertama dan kedua disebut denga tharaf (طَرَف) dan wajib dimunculkan dalam tasybih. Sedangkan rukun ketiga dan keempat boleh dimunculkan atau dihilangkan.

Mari kita telaah kembali contoh tasybih yang kedua:

الْعِلْمُ كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ

Dari contoh tersebut kata yang menjadi musyabbah adalah kata (الْعِلْمُ), musyabbah bih adalah kata (النُّوْرِ), adat tasybihnya kata (ك), dan wajah syabahnya adalah kata (الْهِدَايَةِ).

Karena adat dan wajah boleh tidak disebutkan, maka susunan berikut juga termasuk tasybih:

الْعِلْمُ نُوْرٌ

2. Majaz

Majaz adalah kata yang digunakan bukan pada makna aslinya karena adanya hubungan (alaqah) dan alasan yang menghalangi untuk difahami dengan makna aslinya atau makna kamus. Dalam ilmu bayan, majaz dibagi menjadi dua, yaitu majaz aqli dan majaz lughawi.

a. Majaz Aqli

Majaz aqli adalah menyandarkan perbuatan (aktivitas) kepada suatu atau benda yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah ghair al-musyabahah (hubungan tidak adanya unsur kesamaan antara makna asli dan makna yang mengalami perubahan) dan qarinah (susunan kalimat) yang mencegah terjadinya penyandaran makna ke lafaz tersebut. Dinamakan aqli, karena majaz jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya  dengan menggunakan akal.

Contoh:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (37)

Artinya: “Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya Aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Ghafir [40]: 36-37).

Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) membangun gedung yang menjulang disandarkan kepada seorang bernama Haman padahal ia bukan pelaku sebenarnya. Yang membangun itu adalah para pekerja, tetapi Haman bertindak sebagai pengawas proses pembangunan itu.

b. Majaz Lughawi

Majaz lughawi adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya karena ada alaqah dan qarinah yang mencegah makna asli. Dalam majaz lughawi, suatu makna difahami dengan makna lain karena unsur kebahasaan. Majaz lughawi terbagi lagi menjadi istiarah dan majaz mursal.

● Istiarah

Istiarah adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya dan mulanya uslub tasybih yang dibuang salah satu tharafnya. Maka alaqah atau hubungan makna asli dan makna yang dimaksud dalam istiarah adalah musyabahah.

Contoh:

رَأَيْتُ بَحْرًا فِي السُّوْقِ

Artinya: saya melihat “laut” itu di pasar.

Kata (بَحْرًا) pada contoh di atas tidak dimaknai sebagai hakikat melainkan merujuk pada seseorang yang pemurah.

● Majaz Mursal

Majaz mursal adalah suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya karena adanya alaqah ghair musyabahah (hubungan bukan perumpamaan) disertai qarinah (alasan/bukti) yang mencegahnya dari makna asli. Majaz mursal berbeda dengan kinayah karena pada kalimat yang berbentuk kinayah tidak harus ada qarinah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya. Dinamakan “mursal” karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu.

Contoh:

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ

Artinya:“Sesungghnya orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan.” (QS. Al-Muthaffifin: 22)

Yang dimaksud dengan kenikmatan pada ayat tersebut adalah tempatnya kenikmatan yaitu surga.

3. Kinayah

Kinayah adalah lafadz yang disampaikan dan yang dimaksud adalah kelaziman maknanya, disamping boleh juga yang dimaksud pada makna yang sebenarnya. Simpelnya kinayah adalah idiom.

Contoh:

عَلِيٌّ كَثِيْرُ الرَّمَادِ

Artinya: Ali mempunyai banyak abu.

Maksud dari ungkapan di atas adalah bahwa Ali adalah orang yang dermawan. Orang Arab melazimkan bahwa yang dermawan pasti suka menjamu orang dan tentunya sering masak di rumah. Dahulu kala orang masak menggunakan kayu bakar sehingga menghasilkan hasil abu yang banyak.

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Artinya: Dan (begitu pula) istrinya (istri Abu Lahab), pembawa kayu bakar.

Pembawa kayu bakar diartikan penyebar fitnah. Istri Abu Lahab disebut pembawa kayu bakar karena dia selalu menyebar-nyebarkan fitnah untuk memburuk-burukkan nabi Muhammad saw. dan kaum Muslim.

● ILMU MA’ANI

A. Pengertian Ilmu Ma’ani

Dalam kitab Al-Jauhar Al-Maknun dijelaskan:

عِلْمٌ بِهِ لِمُقْتَضَى الْحَالِ يُرَى * لَفْظٌ مُطَابِقًا....

Artinya :

Yaitu ilmu yang dengan ilmu itu dapat diketahui sesuatu lafazh sesuai dengan muqtadhal halnya (situasi dan kondisi).

Ilmu ma’ani adalah ilmu yang mempelajari kesesuaian antara konteks pembicaraan dengan situasi dan kondisi sehingga maksud dan tujuan bisa tersampaikan secara jelas dan gamblang.

Definisi lainnya, ilmu ma'ani adalah pokok-pokok dan dasar-dasar untuk mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal halnya) sehingga cocok dengan tujuan yang dikehendaki.

Berdasarkan definisi di atas, dalam ilmu ma’ani terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan, yaitu kondisi audien (pendengar) dan obyek (topik pembicaraan).

1. Kondisi Audien (pendengar)

Pembicaraan harus disesuaikan dengan kapasitas intelektual audien. Bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang tingkat intelektualnya tinggi, tentu berbeda dengan orang yang tingkat intelektualnya rendah. Misalnya penggunaan cara berbahasa dengan seorang mahasiswa di perguruan tinggi berbeda dengan seorang murid Sekolah Dasar atau orang yang pernah mengenyam pendidikan dengan orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan.

Kalau berbicara dengan orang terdidik kita cukup menggunakan kalimat yang singkat dan padat bukan bertele-tele. Dengan cara itu mereka sudah bisa memahami dan menangkap maksud dan tujuan sang pembicara, tetapi sebaliknya kalau kita berbicara di hadapan orang yang tidak terdidik maka dibutuhkan penggunaan kata-kata yang panjang dan bertele-tele sekalipun maksud dan tujuan yang ingin disampaikan hanya sedikit.

Selain itu, kondisi audiens ketika menanggapi suatu pembicaraan ada yang yakin, ragu, dan juga ingkar. Tentunya uslub yang digunakan ketika menyampaikan suatu informasi kepada orang yang yakin, orang yang ragu, dan orang yang ingkar akan berbeda. Biasanya tambahkan huruf taukid pada suatu kalimat apabila menyampaikan informasi kepada orang yang ragu, bahkan taukidnya lebih dari satu apabila audiensnya membantah informasi tersebut.

2. Obyek/Topik Pembicaraan

Obyek pembicaraan memegang peranan penting dan substansial dalam ilmu ma’ani. Obyek pembicaraan juga harus disesuaikan dengan kadar intelektual audien. Karena ada obyek pembicaraan yang bisa dijangkau oleh audien dan sebaliknya ada obyek-obyek pembicaraan yang tidak bisa terjangkau oleh akal dan kadar keilmuannya. Kemampuan menganalisa dan problem solving (memecahkan masalah) tentu tidak akan mampu dilakukan oleh anak-anak yang masih belajar di bangku sekolah tingkat dasar.

B. Topik Bahasan Ilmu Ma’ani

Ada beberapa topik inti yang menjadi pembahasan para ulama Balāghah dalam ilmu Ma’ani, yaitu:

Khabar dan Insya’

Khabar atau kalimat berita adalah ungkapan yang bisa dinilai bahwa yang menyampaikannya bohong atau tidak. Sedangkan insya’ sebaliknya.

Contoh kalam khabar:

إِنَّ أَبَاكَ لَمَرِيْضٌ

Artinya: “sesungguhnya ayahmu benar-benar sakit”.

Kalam khabari dengan dua taukid.

Contoh kalam insya’:

فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Artinya: Maka hendaklah mengatakan yang baik atau diam”.

Kalam insya’i dengan uslub amr (perintah).

● Musnad dan Musnad Ilaih

Kalimat dalam bahasa Arab terbentuk dari jumlah ismiyyah (terdiri dari mubtada’ dan khabar) dan jumlah fi’liyyah (terdiri dari fi‘il dan fa‘il). Dalam Ilmu Balagah kedua unsur pembentuk susunan kalimat tersebut dinamakan Musnad  (المسند) dan Musnad Ilaih (المسند إليه).

Contoh:

 مُحَمَّدٌ قَائِمٌ

قَامَ مُحَمَّدٌ

Dalam kedua kalimat di atas, kata (مُحَمَّدٌ) merupakan tempat disandarkannya perbuatan berdiri atau disebut musnad ilaih. Sedangkan kata (قَائِمٌ) dan (قَامَ) merupakan perbuatan yang disandarkan kepada Muhammad atau disebut Musnad.

Ijaz, Musawah dan Ithnab

Ijaz adalah kalimat yang ringkas. Musawah adalah ungkapan yang setara. Sedangkan ithnab adalah kalimat yang bertele-tele.

Contoh ijaz:

اَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ (اعراف: 54)

Artinya: “...Ketahuilah milik Allah segala penciptaan dan urusan....” (QS. Al-A’rāf [7]: 54)

Kata (الخلق) yang artinya penciptaan dan kata (الأمر) yang artinya urusan mengandung makna semua atau segala hal yang berkaitan dengan penciptaan makhluk dan urusannya seperti hidup, mati, senang, bahagia dan lain-lain itu sudah terkandung dalam makna ayat ini.

Contoh musawah:

مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ

Artinya: ”Barang siapa yang kafir (ingkar) maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu.” (QS. Ar-Rūm: 44)

Contoh ithnab:

قَالَ رَبِّ إنِّيْ وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ الرَّأْسِ شَيْبًا

Artinya: Ia berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, (QS. Maryam: 4).

Maksud ayat diatas adalah: “Saya sudah tua”.

Qashr

Qashr adalah gaya bahasa pengkhususan.

Contoh qashr:

وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ

Artinya: “dan tidaklah mereka menipu kecuali kepada dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 9).

Fashal dan Washal

Fashal dan washal membahas tentang menyambung atau memisahkan kalimat dengan kalimat yang lainnya menggunakan huruf athaf ‘wau”.

Contoh fashal:

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْأيتِ

Artinya: “Dia (Allah) yang mengatur urusan dan menjelaskan tanda-tanda” (Ar- Ra’d: 2)

Contoh washal:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا 

Artinya: “Dan sembahlah Allah serta janganlah kalian menyekutukan-Nya….” (An-Nisa’: 36).

Simpulan:

> Ilmu ma’ani membahas macam-macam uslub (gaya bahasa) atas dasar struktur kalimat.

> Tujuan dari mempelajari ilmu ma’ani:

• Agar pembicaraan disesuaikan dengan keadaan audien sehingga bisa berkomunikasi dengan efektif.

• Menjaga lisan dari kesalahan berbicara.

• Mengetahui kemukjizatan al-Qur'an melalui aspek kebagusan susunan dan sifatnya, keindahan kalimat, kehalusan bentuk ijaz yang telah diistemawakan oleh Allah dan segala hal yang telah dikandung oleh al-Qur'an itu sendiri.

Mengetahui rahasia balaghah dan fashahah dalam bahasa Arab yang berupa prosa dan puisi agar dapat mengikutinya dan menyusun sesuai dengan aturannya serta membedakan antara kalimat yang bagus dengan yang bernilai rendah.

• Apabila berposisi sebagai audiens, kita bisa lebih memahami maksud pembicara lebih dalam.

● ILMU BADI’

A. Pengertian Ilmu Badi’

Secara bahasa, badi’ diartikan menciptakan sesuatu yang baru, modern, dan asing. Dalam Al-Quran disebutkan:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ

Artinya: (Allah) pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu. (QS. Al-Baqarah: 117)

Adapun dalam istilah ilmu balaghah, ilmu badi’ adalah ilmu yang mempelajari tentang keindahan suatu kalimat baik dari segi lafaz maupun makna.

Dari pengertian di atas, dapat kita fahami bahwa tujuan mempelajari ilmu badi’ adalah agar pembicaraan kita enak didengar oleh mustami’. Tentunya agar pembicaraan kita indah, kita harus memilih diksi kata yang tepat baik dilihat dari segi pelafalan maupun maknanya.

B. Bahasan Ilmu Badi’

Dalam ilmu badi’, ada dua tema bahasan, yaitu muhassinatul lafhdziyyah dan muhassinatul ma’nawiyyah.

1. Muhassinat Lafdziyyah

Muhassinatul lafdziyyah adalah cara untuk memperindah kata dari segi pelafalan atau bunyinya.

a. Jinas

Jinas adalah penggunaan dua kata dalam sama atau mirip satu ungkapan namun berbeda dalam maknya. Ada dua macam jinas, yaitu:

1). Jinas tam, yaitu dua kata yang sama pengucapannya dalam empat hal, yaitu: jenis huruf, harakat huruf, jumlah huruf dan urutan huruf. Dari keempat tersebut ada yang perlu diketahui bawha huruf tambahan selain dalam shighat tashrif seperti alif lam ta’rif dan juga harakat terakhir tidak termasuk kategori 4 hal tersebut.

Contoh di Al-Qur’an:

وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُوْنَ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَالِكَ كَانُواْ يُؤْفَكُوْن

2). Jinas ghair tam, yaitu dua kata yang mirip pengucapannya tetapi tidak sama pada salah satu dari empat hal, yaitu: jenis huruf, harakat huruf, jumlah huruf dan urutan huruf.

Contoh:

ذَلِكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَفْرَحُوْنَ فِيْ الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَمْرَحُوْنَ

b. Iqtibas

Iqtibas adalah mengutip suatu kalimat dari Al-Qur’an atau Hadist, lalu disisipkan ke dalam prosa atau syair tanpa dijelaskan bahwa kalimat yang dikutip tersebut diambil dari Al-Qur’an dan Hadist.

Contoh:

لاَ تَغُرَّنَّكَ مِن الظَّلَمَةِ كَثْرَةُ الْجُيُوْشِ وَالْأَنْصَارِ (إِنَّمَا نُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْأَبْصَارُ)  

Artinya: Jangan engkau tertipu daya dalam kezaliman dengan banyaknya bala tentara dan pelindung, sesungguhnya kami tangguhkan (azab mereka)  pada hari di mana mata terbelalak.

c. Saja’

As-saja‘ adalah kesamaan huruf akhir pada dua fashilah atau susunan kalimat. Yang dimaksud fashilah bisa bait, ayat, kalimat, atau penggalan kalimat.

Contoh:

إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا، وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا

Artinya: Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, (QS. Al-Ma’arij: 20-21)

2. Muhsinat Ma’nawiyah

Muhassinatul ma’nawiyyah adalah cara mengindahkan makna dalam suatu ungkapan.

a. Tauriyah

Tauriyah adalah mengungkapkan suatu lafaz yang mempunyai dua makna: pertama, makna dekat dan jelas yang tidak dimaksud. Kedua, makna jauh dan samar dan inilah yang dimaksud mutakallim.

Contoh pada kisah Nabi Ibrahim ketika beliau dalam perjalanan dengan istrinya Siti Hajar. Di tengah perjalanan keduanya di tangkap oleh penguasa yang sangat kejam dan bengis. Untuk menyelamatkan istrinya dari kebengisan sang penguasa, Nabi Ibrahim menjawab dengan menggunakan uslub at-tauriyah ketika diintrogasi oleh sang penguasa, “Siapa perempuan ini?” Nabi Ibrahim menjawab,

 هَذِهِ أُخْتِيْ

Artinya dia adalah saudariku.

Kata (أختي) dalam konteks kalimat ini mengandung tauriyah yang mempunyai dua makna. Bisa dimaknai saudari karena nasab atau saudara karena seagama. Sedangkan yang dimaksud Nabi Ibrahim as adalah saudara seagama. Kata tersebut sengaja diucapkan Nabi Ibrahim untuk menjaga identitas istrinya. Seandainya beliau menjawab Hajar adalah istrinya bisa jadi dia akan dibunuh.

b. Thibaq

Thibaq adalah berkumpulnya dua makna yang berlawanan dalam satu kalimat.

Contoh Thibaq:

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ

Artinya: “Dan kamu mengira  mereka itu bangun padahal mereka tidur….” (QS. al-ahfi : 18)

c. Muqabalah

Muqabalah adalah mengungkapkan dua lafaz atau lebih lalu diiringi dua lafaz lain yang merupakan antonim (lawan kata) dari dua lafaz pertama dan disebutkan secara beriringan.

Contoh:

فَلْيَسْهَرُوْا كَثِيْرًا وَلْيَنَامُوْا قَلِيْلاً

artinya:

Hendaklah mereka sering terbangun (malam hari) dan sedikit tidur!”

Kata (يَسْهَرُوْا) dan (كَثِيْرًا) berantonim dengan (يَنَامُوْا) dan (قليلا).

d. Husnut ta’lil

Husnut ta’lil adalah pengingkaran seorang sastrawan secara terang-terangan atau pun terpendam tentang alasan suatu peristiwa yang telah dikenal umum, dan ia mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.

Contoh:

كَانَ احْتِرَاقُ الدَّارِ حُزْنًا عَلَى غِيَابِ أَهْلِهَا

Artinya: Terbakarnya rumah itu karena ia sedih ditinggalkan penghuninya

e. Uslub al-Hakim

Uslub al-hakim adalah gaya bahasa yang disampaikan oleh seseorang dalam memberikan jawaban terhadap sebuah persoalan dengan jawaban yang keluar dari topik persoalan.

Contoh:

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah “itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji. (Al-Baqarah: 189)

Selain uslub di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain seperti itbâ’, istitbâ’, tafrî’ dan sebagainya, namun diantara yang paling sering dikemukakan dan kita jumpai adalah lima pola diatas.

 

Artikel keren lainnya:

Perbedaan Nahwu dan Sharaf

 Perbedaan Sharaf dan Nahwu.

Ketika belajar gramar bahasa Arab, kita pastinya akan sering mendengar istilah nahwu dan sharaf. Adakalanya kita bingung dengan kedua istilah tersebut karena selalu disandingkan. Supaya ada pencerahan, mari kita bahas perbedaan antara sharaf dan nahwu.

Sharaf dan Nahwu

1. Sharaf

Ilmu sharaf didevinisikan:

عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنْ صِيَغِ  الْكَلِمَاتِ الْعَرَبِيَّةِ وَأَحْوَالِهَا الَّتِى لَيْسَتْ بِإِعْرَابٍ وَلَا بِنَاءٍ

Sharaf adalah ilmu yang membahas tentang bentuk-bentuk dan keadaan kata bahasa Arab yang tidak berkenaan dengan i’rab dan binanya.

Bisa disimpulkan bahwa sharaf itu ilmu yang membahas cara membentuk kata. Cara membentuk katanya disebut dengan “tashrif”. Cara membentuk kata lain dari kata dasarnya bisa dengan menambah huruf, mengurangi huruf, mengganti harakat, atau kombinasi.

Contoh:

جَلَسَ » يَجْلِسُ » اِجْلِسْ » مَجْلِسٌ

كِتَابٌ » كِتَابَانِ » كُتُبٌ

Perubahan kata di atas merupakan contoh tashrif. Tentunya perubahan kata tersebut untuk mendapatkan makna tertentu pula. Bila diartikan deret kata di atas: (جَلَسَ) artinya telah duduk, (يَجْلِسُ) artinya sedang duduk, (اِجْلِسْ) artinya duduklah, dan (مَجْلِسٌ) artinya tempat duduk. Sedangkan pada baris yang kedua, (كِتَابٌ) artinya satu buku, (كِتَابَانِ) artinya dua buku, dan (كُتُبٌ) artinya banyak buku.

2. Nahwu

Pengertian ilmu nahwu terbagi dua, secara bahasa dan istilah. Secara bahasa, nahwu adalah:

هُوَ الْمِثْلُ وَالْجِهَةُ وَالْمِقْدَارُ وَالْقِسْمُ وَالْبَعْضُ وَالْقَصْدُ وَالْأَصْلُ

Nahwu adalah contoh, arah, ukuran, bagian, sebagian, tujuan, dan asal. Adapun pengertian ilmu nahwu secara terminologi adalah:

الْعِلْمُ الَّذِيْ يَدْرُسُ الْجُمْلَةِ وَيُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ أَوَاخِرِ الْكَلِمِ إِعْرَابًا وَبِنَاءً

Ilmu yang mempelajari kalimat dan dengan ilmu nahwu bisa diketahui keadaan akhir kata secara mu’rab ataupun mabninya.

Sebenarnya masih banyak pengertian ilmu nahwu dengan berbagai redaksi. Singkatnya, ilmu nahwu itu ilmu tentang cara membentuk kalimat atau mengetahui kedudukan suatu kata dalam kalimat.

Sekarang silahkan perhatikan kedua kalimat berikut:

هَذَا كِتَابٌ

اِشْتَرَى أَحْمَدُ كِتَابًا

Artinya:

Ini adalah buku.

Ahmad membeli buku.

Ditinjau dari ilmu nahwu, kalimat pertama berpola jumlah ismiyyah dan terdiri dari mubtada’ dan khabar. Adapun kalimat yang kedua berpola jumlah fi’liyyah dan terdiri dari fi’il, fa’il, dan maf’ul.

Pada kedua kalimat di atas, ada dua kata yang sama, namun ujungnya berbeda, yaitu kata (كِتَابٌ) dan (كِتَابًا). Harakat terakhirnya berbeda diakibatkan perbedaan kedudukan pada kalimat di atas. Kata (كِتَابٌ) berkedudukan sebagai khabar dan ber’irab rafa. Sedangkan kata (كِتَابًا) berkedudukan sebagai maf’ul dadn be’irab nashab.

Catatan!

Ada beberapa istilah dalam nahwu dan sharaf yang mirip namun berbeda bahasan, diantaranya fa’il dan isim fa’il. Kedua istilah ini berbeda yang mana fa’il merupakan kedudukan kata dan termasuk bahasan nahwu. Adapun isim fa’il merupakan bentuk kata dan termassuk bahasan sharaf.

Contoh:

رأى أَحْمَدُ طَالِبًا

أَنَا طَالِبٌ

Kata (طَالِبًا) berkedudukan sebagai maf’ul dan bentuknya isim fa’il.

Kata (طَالِبٌ) berkedudukan sebagai khabar dan bentuknya isim fa’il.

Penjelasan lebih lengkapnya di artikel berikutnya.

Semoga bermanfaat!

Artikel keren lainnya: