ILMU BALAGHAH
Balaghah bisa diartikan menggapai tujuan dan tutur kata yang baik. Secara
istilah, balaghah adalah menyampaikan makna yang luhur secara jelas dengan
menggunakan ungkapan yang shahih dan fashih. Secara jelas maksudnya pembicara
menyampaikan suatu ungkapan dengan lugas sehingga mudah difahami dan tidak
salah faham. Adapun yang dimaksud shahih adalah sesuai dengan kaidah sharaf dan
nahwu. Sedangkan fashih adalah ungkapan itu harus tersusun dari kata-kata yang
mengandung maksud yang dikehendaki oleh pembicara.
Dalam ilmu balaghah, ada 3 cabang atau subdisplin ilmu, yaitu ilmu bayan,
ilmu ma’ani, dan ilmu badi’.
|
Ilmu Balaghah |
● ILMU BAYAN
A. Pengertian Ilmu Bayan
1. Etimologi
Secara etimologi, kata al-Bayan (البيان) semakna dengan azh-zhuhūr (الظهور), al-kasyf (الكشف) dan al-idhah (الإيضاح) yang berarti menjelaskan atau
menerangkan. Sebagaimana disebutkan pada beberapa surat
dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah swt.:
كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya
mereka bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 187)
يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ
“Allah hendak
menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian….” (QS. an-Nisā’ [4]: 26).
الرَّحْمَنُ
(1) عَلَّمَ الْقُرْآَنَ (2) خَلَقَ
الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
“Ar-Rahmān, Yang
mengajarkan al-Qur’an, Menciptakan manusia dan mengajarkannya al-Bayan.” (QS.
ar-Rahmān [55]: 1-4).
Al-Bayan
disebutkan juga dalam Hadis pada beberapa tempat, di antaranya:
Pertama, Sabda
Rasulullah saw:
إِنَّ
مِنَ البَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya
sebagian dari al-Bayan itu membuat orang tersihir (terkesima/terhipnotis)
dengan kata-kata.”
Dalam konteks
ini al-Bayan berarti menyampaikan maksud dan tujuan dengan menggunakan lafaz
yang paling indah. Itu semua tentu melalui pemahaman dan kecerdasan hati
(spiritual).
Kedua, Sabda
Rasulullah saw.:
البِذَاءُ
وَالبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنَ النِّفَاقِ
“Berkata yang
kotor/jorok dan al-Bayan adalah cabang dari sifat kemunafikan.”
Dalam konteks
ini al-Bayan berarti bertindak berlebihan atau over acting dalam berbicara.
Biasanya itu muncul disebabkan perasaan ‘ujub (tindakan agar dikagumi oleh
orang yang melihatnya dan itu merupakan penyakit hati).
Pada kedua Hadis
tersebut di atas, al-Bayan menunjukkan arti menjelaskan dan menerangkan (al-kasyfu
wa al-īdhāh).
2.
Terminologi
Menurut
terminologi, ilmu bayan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara mengungkapkan
bahasa dengan susunan kalimat yang beragam, di mana yang sebagian lebih jelas
penunjukan maknanya atau lebih berkesan dari yang lain. Jadi ilmu bayan adalah uslub mengungkapkan suatu maksud dengan
redaksi yang berbeda-beda. Ilmu bayan juga berkaitan dengan keindahan berbahasa
yang pengungkapannya menggunakan kata-kata indah dan mampu meninggalkan kesan
yang mendalam di hati pendengar atau pembaca.
Sekarang perhatikan 3 ungkapan berikut yang menunjukkan seseorang yang
mempunyai sifat dermawan!
هُوَ
كالبَحْر فِي الكَرَمِ
“Dia seperti lautan dalam kemurahannya”
رَأَيْتُ
بَحْرًا فِيْ مَنْزِلِنَا
“Saya melihat lautan di rumah kami”
هُوَ
كَثِيرُ الرَّمَادِ
“Dia banyak abunya”
Pola kalimat pertama menggunakan uslūb at-tasybīh, yang kedua menggunakan
uslūb al-majāz; dan ketiga menggunakan uslūb al-kināyah. Pada kalimat pertama, pembicara atau penulis menyerupakan seseorang
dengan lautan dalam kemurahannya. Pada kalimat kedua, pembicara atau penulis
melihat lautan yang merupakan kata al-majāz (Isti‘ārah) dari orang yang
memiliki sifat pemurah. Pada kalimat ketiga, pembicara atau penulis menyatakan
seseorang banyak abunya yang merupakan kinayah dari sifat pemurah. Seseorang memiliki banyak abu di dapur karena
banyak kayu bakar. Seseorang memiliki banyak kayu bakar karena keseringan atau
banyak yang dimasak. Seseorang yang banyak atau sering masak karena banyaknya
atau seringnya tamu yang bertandang (datang) ke rumahnya. Orang yang seperti
itu pasti memiliki sifat pemurah.
B. Topik
Bahasan Ilmu Bayan
Ada 3 bahasan pokok dalam ilmu bayan, yaitu: At-Tasybīh (التشبيه), Al-Majaz (المجاز), dan Al-Kinayah (الكناية).
1. Tasybih
Tasybih adalah menjelaskan bahwa suatu perkara bersekutu dengan yang
lainnya dalam satu sifat atau lebih dengan menggunakan perantara yaitu kaf (ك) dan sejenisnya baik secara tersurat
maupun tersirat. Contoh:
خَالِدٌ
كَالْأَسَدِ فِي الشَّجَاعَةِ
Artinya:
"Khalid seperti singa dalam keberanian”.
الْعِلْمُ
كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ
Artinya: “Ilmu itu seperti cahaya dalam hal memberi petunjuk.”
Dari contoh yang
pertama didapati bahwa khalid diserupakan dengan singa karena keduanya
mempunyai sifat yang sama yaitu sama-sama berani. Disyaratkan pula bahwa
musyabbah bih itu lebih kuat daripada musyabbah.
Dalam susunan uslub tasybih, terdapat 4 rukun tasybih,
yaitu:
a. Musyabbah (المـُشَبَّهُ) yaitu sesuatu yang diserupakan
b. Musyabbah bih (المـُشَبَّهُ بهِ)
yaitu sesuatu yang diserupakan dengan
c. Adat tasybih (أَداةُ التَّشْبيهِ)
alat atau perantara tasybih
d. Wajah syabah (وَجْهُ الشَّبَهِ)
sifat yang menjadi letak kesamaan.
Rukun tasybih yang pertama dan
kedua disebut denga tharaf (طَرَف) dan
wajib dimunculkan dalam tasybih. Sedangkan rukun ketiga dan keempat boleh
dimunculkan atau dihilangkan.
Mari kita telaah
kembali contoh tasybih yang kedua:
الْعِلْمُ
كَالنُّوْرِ فِي الْهِدَايَةِ
Dari contoh tersebut kata yang menjadi musyabbah adalah kata (الْعِلْمُ), musyabbah bih adalah kata (النُّوْرِ), adat tasybihnya kata (ك), dan wajah syabahnya adalah kata (الْهِدَايَةِ).
Karena adat dan wajah boleh tidak disebutkan, maka susunan berikut juga
termasuk tasybih:
الْعِلْمُ
نُوْرٌ
2. Majaz
Majaz adalah kata yang digunakan bukan pada makna aslinya karena adanya
hubungan (alaqah) dan alasan yang menghalangi untuk difahami dengan makna
aslinya atau makna kamus. Dalam ilmu bayan, majaz dibagi menjadi dua, yaitu
majaz aqli dan majaz lughawi.
a. Majaz Aqli
Majaz aqli adalah menyandarkan perbuatan (aktivitas) kepada suatu atau
benda yang bukan aslinya karena adanya ‘alaqah ghair al-musyabahah (hubungan
tidak adanya unsur kesamaan antara makna asli dan makna yang mengalami
perubahan) dan qarinah (susunan kalimat) yang mencegah terjadinya penyandaran
makna ke lafaz tersebut. Dinamakan aqli, karena majaz
jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya
dengan menggunakan akal.
Contoh:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي
أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ
فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ
زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ
فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (37)
Artinya: “Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah
bangunan yang tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu
langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya Aku memandangnya
seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan
yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya
Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS.
Ghafir [40]: 36-37).
Pada ayat ini
disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) membangun gedung yang menjulang
disandarkan kepada seorang bernama Haman padahal ia bukan pelaku sebenarnya.
Yang membangun itu adalah para pekerja, tetapi Haman bertindak sebagai pengawas
proses pembangunan itu.
b. Majaz Lughawi
Majaz lughawi adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya karena
ada alaqah dan qarinah yang mencegah makna asli. Dalam majaz lughawi, suatu
makna difahami dengan makna lain karena unsur kebahasaan. Majaz lughawi terbagi
lagi menjadi istiarah dan majaz mursal.
● Istiarah
Istiarah adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya dan mulanya
uslub tasybih yang dibuang salah satu tharafnya. Maka alaqah atau hubungan
makna asli dan makna yang dimaksud dalam istiarah adalah musyabahah.
Contoh:
رَأَيْتُ
بَحْرًا فِي السُّوْقِ
Artinya: saya
melihat “laut” itu di pasar.
Kata (بَحْرًا) pada contoh di atas tidak dimaknai sebagai hakikat melainkan
merujuk pada seseorang yang pemurah.
● Majaz Mursal
Majaz mursal adalah suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya
karena adanya alaqah ghair musyabahah (hubungan bukan perumpamaan) disertai
qarinah (alasan/bukti) yang mencegahnya dari makna asli. Majaz mursal berbeda
dengan kinayah karena pada kalimat yang berbentuk kinayah tidak harus ada
qarinah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya. Dinamakan
“mursal” karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu.
Contoh:
إِنَّ
الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
Artinya:“Sesungghnya orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam
kenikmatan.” (QS. Al-Muthaffifin: 22)
Yang dimaksud dengan kenikmatan pada ayat tersebut adalah tempatnya
kenikmatan yaitu surga.
3. Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang disampaikan dan yang dimaksud adalah kelaziman
maknanya, disamping boleh juga yang dimaksud pada makna yang sebenarnya.
Simpelnya kinayah adalah idiom.
Contoh:
عَلِيٌّ كَثِيْرُ الرَّمَادِ
Artinya: Ali mempunyai banyak abu.
Maksud dari ungkapan di atas adalah bahwa Ali adalah orang yang dermawan. Orang Arab melazimkan bahwa yang dermawan pasti suka menjamu orang
dan tentunya sering masak di rumah. Dahulu kala orang masak menggunakan kayu
bakar sehingga menghasilkan hasil abu yang banyak.
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Artinya: Dan
(begitu pula) istrinya (istri Abu Lahab), pembawa kayu bakar.
Pembawa kayu
bakar diartikan penyebar fitnah. Istri Abu Lahab disebut pembawa kayu bakar
karena dia selalu menyebar-nyebarkan fitnah untuk memburuk-burukkan nabi
Muhammad saw. dan kaum Muslim.
● ILMU MA’ANI
A. Pengertian Ilmu Ma’ani
Dalam kitab Al-Jauhar Al-Maknun dijelaskan:
عِلْمٌ
بِهِ لِمُقْتَضَى الْحَالِ يُرَى * لَفْظٌ مُطَابِقًا....
Artinya :
“Yaitu ilmu yang dengan ilmu itu dapat diketahui
sesuatu lafazh sesuai dengan muqtadhal halnya (situasi dan kondisi).”
Ilmu ma’ani adalah ilmu yang mempelajari kesesuaian antara konteks
pembicaraan dengan situasi dan kondisi sehingga maksud dan tujuan bisa
tersampaikan secara jelas dan gamblang.
Definisi lainnya, ilmu ma'ani adalah pokok-pokok dan dasar-dasar untuk
mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal
halnya) sehingga cocok dengan tujuan yang dikehendaki.
Berdasarkan
definisi di atas, dalam ilmu ma’ani terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan, yaitu kondisi
audien (pendengar) dan obyek (topik pembicaraan).
1. Kondisi Audien (pendengar)
Pembicaraan
harus disesuaikan dengan kapasitas intelektual audien. Bahasa yang digunakan
ketika berbicara dengan orang yang tingkat intelektualnya tinggi, tentu berbeda
dengan orang yang tingkat intelektualnya rendah. Misalnya penggunaan cara
berbahasa dengan seorang mahasiswa di perguruan tinggi berbeda dengan seorang
murid Sekolah Dasar atau orang yang pernah mengenyam pendidikan dengan orang
yang tidak pernah mengenyam pendidikan.
Kalau berbicara
dengan orang terdidik kita cukup menggunakan kalimat yang singkat dan padat
bukan bertele-tele. Dengan cara itu mereka sudah bisa memahami dan menangkap
maksud dan tujuan sang pembicara, tetapi sebaliknya kalau kita berbicara di
hadapan orang yang tidak terdidik maka dibutuhkan penggunaan kata-kata yang
panjang dan bertele-tele sekalipun maksud dan tujuan yang ingin disampaikan
hanya sedikit.
Selain itu, kondisi audiens ketika menanggapi suatu pembicaraan ada yang
yakin, ragu, dan juga ingkar. Tentunya uslub yang digunakan ketika menyampaikan
suatu informasi kepada orang yang yakin, orang yang ragu, dan orang yang ingkar
akan berbeda. Biasanya tambahkan huruf taukid pada suatu kalimat apabila
menyampaikan informasi kepada orang yang ragu, bahkan taukidnya lebih dari satu
apabila audiensnya membantah informasi tersebut.
2. Obyek/Topik Pembicaraan
Obyek
pembicaraan memegang peranan penting dan substansial dalam ilmu ma’ani. Obyek pembicaraan
juga harus disesuaikan dengan kadar intelektual audien. Karena ada obyek
pembicaraan yang bisa dijangkau oleh audien dan sebaliknya ada obyek-obyek
pembicaraan yang tidak bisa terjangkau oleh akal dan kadar keilmuannya.
Kemampuan menganalisa dan problem solving (memecahkan masalah) tentu tidak akan
mampu dilakukan oleh anak-anak yang masih belajar di bangku sekolah tingkat
dasar.
B. Topik
Bahasan Ilmu Ma’ani
Ada beberapa
topik inti yang menjadi pembahasan para ulama Balāghah dalam ilmu Ma’ani, yaitu:
● Khabar dan Insya’
Khabar atau kalimat berita adalah ungkapan yang bisa dinilai bahwa yang
menyampaikannya bohong atau tidak. Sedangkan insya’ sebaliknya.
Contoh kalam khabar:
إِنَّ أَبَاكَ لَمَرِيْضٌ
Artinya: “sesungguhnya ayahmu benar-benar sakit”.
Kalam khabari dengan dua taukid.
Contoh kalam insya’:
فَلْيَقُلْ خَيْرًا
أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya: Maka hendaklah mengatakan yang baik atau diam”.
Kalam insya’i dengan uslub amr (perintah).
● Musnad dan Musnad Ilaih
Kalimat dalam bahasa Arab terbentuk dari jumlah ismiyyah (terdiri dari
mubtada’ dan khabar) dan jumlah fi’liyyah (terdiri dari fi‘il dan fa‘il). Dalam Ilmu
Balagah kedua unsur pembentuk susunan kalimat tersebut dinamakan Musnad (المسند) dan
Musnad Ilaih (المسند إليه).
Contoh:
مُحَمَّدٌ قَائِمٌ
قَامَ
مُحَمَّدٌ
Dalam kedua kalimat di atas, kata (مُحَمَّدٌ) merupakan tempat disandarkannya perbuatan
berdiri atau disebut musnad ilaih. Sedangkan kata (قَائِمٌ) dan (قَامَ) merupakan perbuatan yang disandarkan kepada
Muhammad atau disebut Musnad.
● Ijaz, Musawah dan Ithnab
Ijaz adalah kalimat yang ringkas. Musawah adalah ungkapan yang setara.
Sedangkan ithnab adalah kalimat yang bertele-tele.
Contoh ijaz:
اَلاَ
لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ (اعراف: 54)
Artinya: “...Ketahuilah milik Allah segala penciptaan dan urusan....” (QS.
Al-A’rāf [7]: 54)
Kata (الخلق) yang
artinya penciptaan dan kata (الأمر) yang artinya urusan mengandung makna semua atau segala hal
yang berkaitan dengan penciptaan makhluk dan urusannya seperti hidup, mati,
senang, bahagia dan lain-lain itu sudah terkandung dalam makna ayat ini.
Contoh musawah:
مَنْ
كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ
Artinya: ”Barang siapa yang kafir (ingkar) maka dia
sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu.” (QS. Ar-Rūm: 44)
Contoh ithnab:
قَالَ
رَبِّ إنِّيْ وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ الرَّأْسِ شَيْبًا
Artinya: Ia
berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah
ditumbuhi uban, (QS. Maryam: 4).
Maksud
ayat diatas adalah: “Saya sudah tua”.
● Qashr
Qashr adalah gaya bahasa pengkhususan.
Contoh qashr:
وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Artinya: “dan
tidaklah mereka menipu kecuali kepada dirinya sendiri sedang mereka tidak
sadar.” (QS. Al-Baqarah: 9).
● Fashal dan Washal
Fashal dan washal membahas tentang menyambung atau memisahkan kalimat
dengan kalimat yang lainnya menggunakan huruf athaf ‘wau”.
Contoh fashal:
يُدَبِّرُ
الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْأيتِ
Artinya: “Dia
(Allah) yang mengatur urusan dan menjelaskan tanda-tanda” (Ar- Ra’d: 2)
Contoh washal:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
Artinya: “Dan
sembahlah Allah serta janganlah kalian menyekutukan-Nya….” (An-Nisa’: 36).
Simpulan:
> Ilmu ma’ani membahas macam-macam uslub (gaya bahasa) atas dasar
struktur kalimat.
> Tujuan dari mempelajari ilmu ma’ani:
• Agar pembicaraan disesuaikan dengan keadaan audien sehingga bisa
berkomunikasi dengan efektif.
• Menjaga lisan dari kesalahan berbicara.
• Mengetahui kemukjizatan al-Qur'an melalui aspek kebagusan susunan dan
sifatnya, keindahan kalimat, kehalusan bentuk ijaz yang telah diistemawakan
oleh Allah dan segala hal yang telah dikandung oleh al-Qur'an itu sendiri.
• Mengetahui rahasia balaghah dan fashahah dalam bahasa Arab
yang berupa prosa dan puisi agar dapat mengikutinya dan menyusun sesuai dengan
aturannya serta membedakan antara kalimat yang bagus dengan yang bernilai
rendah.
• Apabila berposisi sebagai audiens, kita bisa lebih memahami maksud
pembicara lebih dalam.
● ILMU BADI’
A. Pengertian Ilmu Badi’
Secara bahasa, badi’ diartikan menciptakan sesuatu yang baru, modern, dan
asing. Dalam Al-Quran disebutkan:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا
يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Artinya: (Allah) pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan
sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu
itu. (QS. Al-Baqarah: 117)
Adapun dalam istilah ilmu balaghah, ilmu badi’ adalah ilmu yang mempelajari
tentang keindahan suatu kalimat baik dari segi lafaz maupun makna.
Dari pengertian di atas, dapat kita fahami bahwa tujuan mempelajari ilmu
badi’ adalah agar pembicaraan kita enak didengar oleh mustami’. Tentunya agar
pembicaraan kita indah, kita harus memilih diksi kata yang tepat baik dilihat
dari segi pelafalan maupun maknanya.
B. Bahasan Ilmu Badi’
Dalam ilmu badi’, ada dua tema bahasan, yaitu muhassinatul lafhdziyyah dan
muhassinatul ma’nawiyyah.
1. Muhassinat Lafdziyyah
Muhassinatul lafdziyyah adalah cara untuk memperindah kata dari segi
pelafalan atau bunyinya.
a. Jinas
Jinas adalah penggunaan dua kata dalam sama atau mirip satu ungkapan namun berbeda
dalam maknya. Ada dua macam jinas, yaitu:
1). Jinas tam, yaitu dua kata yang sama pengucapannya dalam empat hal,
yaitu: jenis huruf, harakat huruf, jumlah huruf dan urutan huruf. Dari keempat
tersebut ada yang perlu diketahui bawha huruf tambahan selain dalam shighat
tashrif seperti alif lam ta’rif dan juga harakat terakhir tidak termasuk
kategori 4 hal tersebut.
Contoh di Al-Qur’an:
وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ
يُقْسِمُ الْمُجْرِمُوْنَ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ
كَذَالِكَ كَانُواْ يُؤْفَكُوْن
2). Jinas ghair
tam, yaitu dua
kata yang mirip pengucapannya tetapi tidak sama pada salah satu dari empat hal,
yaitu: jenis huruf, harakat huruf, jumlah huruf dan urutan huruf.
Contoh:
ذَلِكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَفْرَحُوْنَ فِيْ الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَمْرَحُوْنَ
b. Iqtibas
Iqtibas adalah
mengutip suatu kalimat dari Al-Qur’an atau Hadist, lalu disisipkan ke dalam
prosa atau syair tanpa dijelaskan bahwa kalimat yang dikutip tersebut diambil
dari Al-Qur’an dan Hadist.
Contoh:
لاَ تَغُرَّنَّكَ مِن الظَّلَمَةِ كَثْرَةُ الْجُيُوْشِ
وَالْأَنْصَارِ
(إِنَّمَا نُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْأَبْصَارُ)
Artinya: Jangan
engkau tertipu daya dalam kezaliman dengan banyaknya bala tentara dan
pelindung, sesungguhnya kami tangguhkan (azab mereka) pada hari di mana mata terbelalak.
c. Saja’
As-saja‘ adalah
kesamaan huruf akhir pada dua fashilah atau susunan kalimat. Yang dimaksud
fashilah bisa bait, ayat, kalimat, atau penggalan kalimat.
Contoh:
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا،
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
Artinya: Apabila
ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia
amat kikir, (QS. Al-Ma’arij: 20-21)
2. Muhsinat Ma’nawiyah
Muhassinatul ma’nawiyyah adalah cara mengindahkan makna dalam suatu
ungkapan.
a. Tauriyah
Tauriyah adalah mengungkapkan suatu lafaz yang mempunyai dua makna: pertama,
makna dekat dan jelas yang tidak dimaksud. Kedua, makna jauh dan samar dan
inilah yang dimaksud mutakallim.
Contoh pada
kisah Nabi Ibrahim ketika beliau dalam perjalanan dengan istrinya Siti Hajar.
Di tengah perjalanan keduanya di tangkap oleh penguasa yang sangat kejam dan
bengis. Untuk menyelamatkan istrinya dari kebengisan sang penguasa, Nabi
Ibrahim menjawab dengan menggunakan uslub at-tauriyah ketika diintrogasi oleh sang
penguasa, “Siapa perempuan ini?” Nabi Ibrahim menjawab,
هَذِهِ أُخْتِيْ
Artinya dia adalah saudariku.
Kata (أختي) dalam
konteks kalimat ini mengandung tauriyah yang mempunyai dua makna. Bisa dimaknai
saudari karena nasab atau saudara karena seagama. Sedangkan yang dimaksud Nabi
Ibrahim as adalah saudara seagama. Kata tersebut
sengaja diucapkan Nabi Ibrahim untuk menjaga identitas istrinya. Seandainya
beliau menjawab Hajar adalah istrinya bisa jadi dia akan dibunuh.
b. Thibaq
Thibaq adalah
berkumpulnya dua makna yang berlawanan dalam satu kalimat.
Contoh Thibaq:
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ
Artinya: “Dan kamu mengira
mereka itu bangun padahal mereka tidur….” (QS. al-ahfi : 18)
c. Muqabalah
Muqabalah adalah mengungkapkan dua lafaz atau lebih lalu diiringi dua lafaz
lain yang merupakan antonim (lawan kata) dari dua lafaz pertama dan disebutkan
secara beriringan.
Contoh:
فَلْيَسْهَرُوْا
كَثِيْرًا وَلْيَنَامُوْا قَلِيْلاً
artinya:
“Hendaklah mereka sering terbangun (malam hari) dan
sedikit tidur!”
Kata (يَسْهَرُوْا) dan (كَثِيْرًا) berantonim dengan (يَنَامُوْا) dan (قليلا).
d. Husnut ta’lil
Husnut ta’lil adalah pengingkaran seorang sastrawan
secara terang-terangan atau pun terpendam tentang alasan suatu peristiwa yang
telah dikenal umum, dan ia mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra yang
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.
Contoh:
كَانَ
احْتِرَاقُ الدَّارِ حُزْنًا عَلَى غِيَابِ أَهْلِهَا
Artinya: Terbakarnya
rumah itu karena ia sedih ditinggalkan penghuninya
e. Uslub al-Hakim
Uslub al-hakim
adalah gaya bahasa yang disampaikan oleh seseorang dalam memberikan jawaban
terhadap sebuah persoalan dengan jawaban yang keluar dari topik persoalan.
Contoh:
يَسْئَلُونَكَ
عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah “itu adalah
(petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji. (Al-Baqarah: 189)
Selain uslub di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan
pola-pola lain seperti itbâ’, istitbâ’, tafrî’ dan sebagainya, namun
diantara yang paling sering dikemukakan dan kita jumpai adalah lima pola
diatas.
Artikel keren lainnya: