Home · Tajwid · Sharaf · Nahwu · Balaghah · Do'a · Daftar Isi

Pengertian Semantik (Hakikat, Jenis, dan Relasi Makna)

A.    Pengertian Semantik
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Akar kata sema adalah ‘s’ dan ‘m’ sangat mirip dengan kata سمة  dari kata (و) سم yang juga berarti tanda yang akar katanya adalah س (و)  dan م . Kata kerja sema adalah ‘semaino’ yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Tanda atau lambang yang dimaksud disini adalah tanda-tanda linguistik. Padanannya dalam bahasa Arab adalah ilmu al-dilalah yang berasal dari kataدل- يدل- دلالة  yang berati ‘menunjukkan’.

Adapun pengertian sematik menurut para ahli, antara lain:
1.      J. W. M. Verhaar (1994 : 13) berpendapat bahwa, “semantik merupakan cabang linguistik yang membahas arti atau makna”.
2.      Abdul Chaer (1994 : 284) mengatakan, “Semantik merupakan bidang studi linguistik yang objek penelitiannya makna bahasa”.
3.      R. H. Robins (1992 : 24) berpendapat, Makna merupakan atribut bukan saja dari bahasa melainkan pula dari segenap sistem tanda dan lambang, dan kajian makna dinamakan Semantik”.
Dari depfinisi-definisi di atas di atas dapat disimpulkan bahwa semantik adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang makna.
B.     Hakikat Makna
Menurut Ferdinand de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen Signifian (yang wujudnya berupa runtunan bunyi) dan komponen Signifie (yang wujudnya berupa pengertian atau konsep yang d miliki oleh signifian). Seperti tanda linguistik berupa ditampilkan dalam bentuk ortografis. Contohnya MEJA (terdiri dari komponen signifian), yakni berupa runtunan fonem m/e/j/a, dan komponen signifienya berupa konsep atau makna “sejenis perabot kantor atau rumah tangga”. Tanda linguistik ini yang berupa runtunan fonem dan konsep yang dimiliki runtunan fonem itu mengacu pada sebuah referen yang berada diluar bahasa, yaitu “sebuah meja”.
Dengan demikian, menurut teori yang di kembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure bahwa makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Dan ada juga teori yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain dari pada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem itu. Hanya perlu dipahami bahwa tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia nyata. Misalnya, agama, kebudayaan, dan keadilan, tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata makna kata atau leksem itu sering kali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Misalnya kata Buaya dalam kalimat (dasar Buaya ibunya sendiri ditipunya).
C.    Jenis Makna
1.      Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna Leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem mesti tanpa konteks apapun. Misalnya kata kuda memiliki makna leksikal “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”; Pinsil bermakna leksikal “sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang”. Dengan contoh itu dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya.
Makna Gramatikal adalah makna itu baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks ber dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal “mengenakan atau memakai baju” contoh lain, proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna gramatikal “bahan” ; dengan dasar madura melahirkan makna gramatikal “asal” dengan dasar lontong melahirkan makna gramatikal “bercampur” dan dengan kata pak kumis (nama pedagang sate yang terkenal di Jakarta) melahirkan makna gramatikal “buatan”.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya  Rambut di Kepala nenek belum ada yang putih. Sebagai Kepala sekolah dia harus menegur murid itu. Kata kepala dari dua kalimat di atas berbeda makna karna menyesuaikan dengan konteksnya sendiri. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
2.      Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, atau acuannya. Seperti kuda, meja, gambar adalah termasuk kata bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Dan sebaliknya kata-kata non-referensial yaitu seperti dan, atau, karena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referens.
Berkenaan dengan acuan ini ada jumlah kata, yang disebut kata-kata deiktik, yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini adalah kata-kata yang termasuk pronomina, seperti dia, saya dan kamu. Dan kata yang menyatakan ruang, seperti di sini, di sana, di situ. Kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti. Dan kata penunjuk, seperti ini dan itu.
3.      Makna Denotatif dan makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuak leksem. Makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya kata ayam bermakna denotatif “jenis binatang yang biasa di ternakkan untuk di manfaatkan dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif “keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal”.
Makna Konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang  atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Seperti kata kurus juga pada contoh diatas, berkonotasi netral, artinya, tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan, tetapi kata ramping, yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan, orang akan senang kalau dikatakan ramping.
4.      Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata Kuda memiliki makna konseptual “sejenis binatang yang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Dan kata Rumah memiliki makna konseptual “bangunan tempat tinggal manusia”. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna Denotatif, dan makna Referensial.
Makna Asosiatif adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada diluar bahasa, misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian. Dan kata buaya berasosiasi dengan jahat atau juga kejahatan. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain. Yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut.
5.      Makna kata dan makna istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, makna konseptual. Namun dalam penggunaannya makna kata itu menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Seperti dalam kalimat (tangannya luka kena pecahan kaca), (lengannya luka kena pecahan kaca), kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama.
Adapun makna istilah yaitu mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya di gunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu, seperti kata tangan dan lengan yang menjadi contoh di atas, kedua kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda, Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai kejari tangan, sedangkan Lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena maknanya berbeda.
6.      Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Seperti secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna, yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya. Tetapi dalam bahasa indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna “tertawa keras-keras”. Jadi, makna seperti yang dimilki bentuk menjual gigi itulah yang disebut makna idiomatikal. Contoh lain seperti bentuk membanting tulang dengan makna bekerja keras, meja hijau dengan makna pengadilan.
Adapun makna peribahasa adalah memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai pribahasa. Seperti pribahasa anjing dengan kucing yang bermakna dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur, makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang menuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal makna idiom tidak ada jalan lain selain dari harus melihatnya didalam kamus, khususnya kamus pribahasa dan kamus idiom.
D.    Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. Masalah-masalah yang dibicarakan pada relasi makna :
1.      Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya, misalnya جاء & قدم. Faktor ketidaksamaan dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan sama persis adalah :
a.      Faktor waktu, contoh : hulubalang dan komandan.
b.      Faktor tempat, contoh : saya dan beta.
c.       Faktor keformalan, contoh : uang dan duit.
d.     Faktor sosial, contoh : saya dan aku.
e.      Faktor bidang kegiatan, contoh : matahari dan surya.
f.        Faktor nuansa makna, contoh : melihat, melirik, menonton.
Di dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, Yang bersinonim pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya. Perhatikan contoh berikut!
a.      Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara dia dengan nya, Antara saya dengan ku.
b.      Sinonim antara kata dengan kata seperti antara mati dengan meningal.
c.       Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan tutup usia.
d.     Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua.
e.      Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan bola ditendang Adik. Kedua kalimat ini pun dianggap bersinonim, meskipun yang pertama  aktif dan yang kedua kalimat pasif.
2.      Antonim
Antonim adalah hubungan semantik dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan dengan ujaran yang lain. Contoh : hidup x mati. Jenis antonim:
a.      Antonim yang bersifat mutlak, contoh: diam x bergerak.
b.      Antonim yang bersifat relatif/bergradasi, contoh: jauh x dekat.
c.       Antonim yang bersifat relasional, contoh: suami x istri.
d.     Antonim yang bersifat hierarkial, contoh: tamtama x bintara.
3.      Polisemi
Adalah kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Contoh:
Kepala  yang berarti bagian tubuh yang bagian atas.
Kepala yang menyatakan pimpinan.
4.      Homonim
Adalah dua kata yang bentuk, ucapan, dan tulisannya sama tetapi beda makna. Contoh : Bisa : (Bisa yang berarti racun dan bisa yang berarti dapat atau mampu).
5.      Homofon
Adalah dua kata yang mempunyai kesamaan bunyi tapi beda ejaanya, dengan makna yang berbeda. Contoh : Bang (sebutan saudara laki-laki) dengan Bank (tempat penyimpanan dan pengkreditan uang).
6.      Homograf
Adalah dua kata yang memiliki ejaan sama, tetapi ucapan dan maknanya beda. Contoh: Apel (buah) dan Apél (rapat, pertemuan)
7.      Hiponim dan hipernim
Hiponim adalah sebuah bentuk ujaran yang mencakup dalam makna bentuk ujaran lain. Hipernim adalah bagian dari hiponim. Contoh : Hiponim : buah-buahan, hipernim dari buah-buahan misalnya anggur.
8.      Ambiguiti/Ketaksaan
Adalah gejala yang terjadi akibat kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Contoh: “kucing memakan tikus mati”.
E.     Perubahan makna
1.      Perluasan makna
Perluasan makna ialah perubahan makna dari yang lebih khusus atau sempit ke yang lebih umum atau luas. Cakupan makna baru tersebut lebih luas daripada makna lama.  Contoh:
bapak: orang tua laki-laki semua orang laki-laki yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi.
لوح  : dulunya berarti sejenis benda yang digunakan untuk menulisi kemudian meluas artinya menjadi pelat, bangun perahu, papan dan orang besar tulang tangan dan kakinya.
2.      Penyempitan makna
Penyempitan makna ialah perubahan makna dari yang lebih umum/ luas ke yang lebih khusus/sempit. Cakupan baru/sekarang lebih sempit daripada makna lama (semula). Contoh:
sarjana : cendikiawan dan lulusan perguruan tinggi.
الحج : bermaksud menjadi bermaksud ke baetullah.
3.      Peninggian Makna (ameliorasi)
Peninggian makna ialah perubahan makna yang mengakibatkan makna yang baru dirasakan lebih tinggi/ hormat/ halus/ baik nilainya daripada makna lama. Contoh:
bung : panggilan kepada orang laki-laki dan panggilan kepada pemimpin
putra : anak laki-laki lebih tinggi daripada anak.
4.      Penurunan Makna (Peyorasi)
Penurunan makna ialah perubahan makna yang mengakibatkan makna baru dirasakan lebih rendah/ kurang baik/ kurang menyenangkan nilainya daripada makna lama. Contoh:
bini: perempuan yang sudah dinikahi lebih rendah daripada istri
bunting: mengandung lebih rendah dari kata hamil
5.      Persamaan (asosiasi)
Asosiasi ialah perubahan makna yang terjadi akibat persamaan sifat antara makna lama dan makna baru. Contoh:
Singa : hewan dan pemberani.
bunga : kembang dan gadis cantik.
6.      Pertukaran (sinestesia)
Sinestesia ialah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan dua indera yang berbeda dari indera penglihatan ke indera pendengar, dari indera perasa ke indera pendengar, dan sebagainya. Contoh:
suaranya lembut sekali (pendengaran peraba).
wajahnyanya manis (penglihat perasa).
namanya harum (pendengar pencium).

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Pengertian Semantik (Hakikat, Jenis, dan Relasi Makna)"

Post a Comment